Berita
APA MAKNA MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN ?
Apa Makna Minal ‘Aidin Wal Faizin. Itulah yang sering diungkapkan oleh orang di Indonesia ketika
hari raya Idul Fitri. Lalu apa makna kalimat Minal ‘aidin wal faizin. "Minal
Aidin wal Faizin" sebenarnya adalah do'a yang artinya : “Semoga kita
termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”.
Jadi, jangan salah mengartikan dengan “Mohon maaf lahir dan batin” lagi.
Lalu
bagiaman cara Penulisan kalimat Minal
‘Aidin Walfaizin
1.
Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar
2.
Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasar ejaan indonesia
3.
Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal”
dalam abjad arab
4.
Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai
huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5.
Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya
memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”
Nah
sekarang dari sisi syar’i-nya, apakah ucapan ini diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam? Kalau tidak, bagaimanakah cara mengucapkan
selamat Idul Fitri yang benar?
Pada
zaman khilafiah rosyidin, ucapan Minal ‘Aidin wal Faizin, digunakan sebagai
ungkapan bangga atas kemenangan perang yang sebenarnya, semisal perang badar. “Semoga
Termasuk dari Orang-orang yang Kembali (dari perang) dan sebagai Orang yang
Menang ( dalam setiap Perjuangan Islam).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah salah seorang ulama besar Islam ditanya tentang ucapan
selamat pada hari raya maka beliau menjawab: “Ucapan pada hari raya, di mana
sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
Taqabbalallahu minnaa wa minkum (تقبل الله منا ومنكم). (yang artinya) : Semoga
Allah menerima (ibadah) dari kami dan dari kalian” [Majmu Al-Fatawa 24/253]
Al
Hafizh Ibnu Hajar, salah seorang ulama mazhab Asy Syafi’i juga pernah
menyampaikan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu
pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya :
Taqabbalallahu minnaa wa minkum yang artinya semoga Allah menerima dari kami
dan darimu. Dan didapati pula bahwa mereka membalasnya dengan ucapan yang
serupa.
Dari
Riwayat tersebut dan seperti keterangan keterangan yang dipaparkan, yang benar
adalah dari “Taqabbalallahu… sampai … shiyamakum”. Tidak satupun menyatakan ada
istilah Minal ‘Aizin wal Faizin. Atau Tanpa Minal ‘Aidin wal Faizin.
Jadi
mengucapkan Minal ‘Aidin Wal Faizin, jika kita mengucapkannya dengan niat ingin
mencontoh kebiasaan Rosulullah/Ittiba’qaulyah, jatuhnya bisa menjadi bid’ah,
tapi kalau niatnya hanya untuk “Ingin mendoakan sesama Saudara seiman”, Insya
Allah, tidak salah dan bahkan hal yang baik.
Adapun
jika ingin menambahkan bisa saja ditambahkan diakhir kalimat, agar secara
harfiyah aja serasi menjadi : ”Taqabbalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa
Shiyamakum. Ja’alanallaahu Minal ‘Aidin wal Faizin”
Artinya,
“Semoga Allah menerima amal-amal kami dan kamu, Puasa kami dan kamu. Dan semoga
Allah menjadikan kami dan kamu termasuk dari orang-orang yang kembali (dari
perjuangan Ramadhan) sebagai orang yang menang.”
Halal Bihalal Merupakan Budaya Khas Muslim Indonesia
Kepala Badan Litbang dan
Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud menyatakan, tradisi halal bihalal khas
umat muslim Indonesia dan tidak ditemukan di dunia Islam lainnya. Karena itu,
tradisi tersebut diharapkan dapat ditegakkan secara berkesinambungan dan
konsisten.
Harapan tersebut disampaikan
Abd. Rahman Mas’ud pada khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, Jumat (17/07), di
Masjid Agung At-Tin Jakarta. Sangat ironis jika halal bihalal yang unik, sekedar
dilanggengkan sebagai seremoni tanpa arti, yang berjalan tiap tahun tanpa
adanya kemajuan apapun.
“Apa yang bisa kita dapatkan
dari halal bi halal ini? Inilah pertanyaan penting yang harus kita kemukakan
pada diri sendiri,” kata Mas’ud dalam khutbahnya. Hadir pada shalat Idul Fitri
tersebut keluarga besar almarhum Soeharto dan Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung
At-Tin, Muhammad Maftuh Basyuni.
Mas’ud mengatakan, apabila
Idul Fitri dan halal bihalal kehilangan ruh dan substansinya, maka budaya formalistik,
seremonial, ritualistik, agaknya belum mampu berjalan seirama dengan ajaran
dasar agama dan etika sosial masyarakat Indonesia. Sebuah penelitian
antropologi baru-baru ini, kata mantan Ketua ICMI Los Angeles AS
(1992-1995) ini, membuktikan bahwa selama tiga dekade terakhir, ajaran hablum
minannas (human relation) tidak populer. Sebaliknya, ajaran hablum minallah
pada dasarnya merupakan wajah utama keberagaman muslim Indonesia yang
hampir-hampir tidak berhubungan dengan hablum minannas.
Kesemarakan beragama
mengalahkan kekhusyukan beragama. Religiusitas masih sering larut dalam
floating mass (massa mengambang) yang lebih mementingkan simbol daripada makna.
Karena kondisi sosial ini pula aneka pendekatan yang ada selalu karikatif dan
tidak memiliki jangkauan strategis ke depan. “Kita patut risau lantaran sisi
humanisme dalam agama masih jauh dari perhatian umat beragama di Indonesia.
Inilah pekerjaan rumah kita bersama kaum muslimin di mana berada,” katanya
mengingatkan.
Puasa Ramadhan selalu
diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Secara etimologi, Idul Fitri terdiri dari
dua kata. Pertama, ‘id. Dalam Lisaanul Arab, Ibnu Mandzur menyatakan, kata ini
diambil dari kata ‘ada, bermakna “kembali”. Ini menunjukkan bahwa Idul Fitri
selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang berpendapat
diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan. Artinya bahwa kaum muslimin
sudah biasa pada 1 Syawal selalu merayakannya.
Kata yang kedua adalah
Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang
berarti membedah atau membelah. Bila dihubungkan dengan puasa, maka ia
mengandung makna `berbuka puasa’ (ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya
ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi
kehidupan jasmani dan rohani secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri
bermakna ‘yang mula-mula diciptakan Allah SWT’.
Adapun secara terminologi,
Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. “Satu hal yang
patut kita syukuri adalah bahwa rahmat Allah lah yang membuat kita mampu
menyelesaikan kewajiban berpuasa sebulan penuh, sebuah ibadah yang bisa
dipandang ringan sekaligus berat. Bagi muslim yang berpegang teguh pada ajaran
Allah, akan menganggapnya sebagai pekerjaan ringan,” katanya.
Sebab, lanjut dia, puasa
tidak hanya menjadi bagian dari kehidupannya. Akan tetapi dia yakin sebagaimana
keterangan Allah bahwa puasa telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah umat
manusia. Dengan kata lain, puasa merupakan satu syarat bagi manusia yang
mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
No comments
Maaf, Komentar yang disertai Link Aktif akan terhapus oleh sistem