Pada pembahasan Konflik Sosial, Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan. Kita akan mencoba mempelajari Pengertian Konflik Sosial, Bentuk-bentuk Konflik Sosial, Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial, Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat, dan Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik dan Resolusi Konflik. Sehingga diharapkan peserta didik dapat menganalisis konflik sosial dan cara memberikan respons untuk melakukan resolusi konflik dan pemecahan masalah konflik dan kekerasan demi terciptanya kehidupan yang damai di masyarakat serta dapat memetakan konflik untuk dapat melakukan resolusi konflik dan memberikan solusi terhadap konflik dan kekerasan untuk menumbuhkembangkan perdamaian di masyarakat.
A. Pengertian Konflik
Sosial
Istilah
“konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah
konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian
antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan
peperangan internasional. Dalam Kemus Besar Bahasa Indonesia, Konflik mengandung
artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Menurut Antonius, dkk
(2002: 175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi,
menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar
kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.
Lallu
apa yang dimaksud konflik sosial ? Secara konflik sosial sering diartikan
sebagaipertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan. Berikut ini beberapa pendapat ahli tentang pengertian Konfliks sosial
•
Coser
(dalam Irving M. Zeitlin:1998) mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu
perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan
dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir
saingannya.
•
Menurut
Soerjono Soekanto (1993) Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
• Menurut J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2005) konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompokkelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.
•
Menurut
lawang konflik (1994) diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal
yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya. konflik itu tidak
hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan
pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan
(ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relative terbatas.
Jadi,
konflik sosial dapat disimpulkan sebagai percekcokan, perselisihan dan
pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak
dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling
mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya
merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai
kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam
bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk
mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan
atau saingannya.
B. Bentuk-bentuk
Konflik Sosial
Secara
garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa bentuk konflik berikut ini :
a.
Berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya,
konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik konstruktif.
1.
Konflik Destruktif
Merupakan konflik
yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari
seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan
fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso,
Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2.
Konflik Konstruktif
Merupakan konflik
yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat
dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan
suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu
perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi
b.
Berdaasarkan pihak yang terlibat dalam konflik.
1.
Konflik individu dengan individu; Konflik semacam ini dapat terjadi antara
individu yang satu dengan individu lainnya. Misalnya, antara individu karyawan dengan
bos, karyawan dengan karyawan, ketua dengan sekretaris, dan masih banyak lagi
lainnya.
2.
Konflik individu dengan kelompok; Konflik semacam ini biasanya terjadi antara
pimpinan dengan bawahanbawahannya, atau antara guru dengan para siswanya.
3.
Konflik kelompok dengan kelompok; Konflik yang satu ini biasa terjadi dalam sebuah
sepak bola, maupun antar kelompok motor. Bisanya suporter A akan berkonflik
dengan suporter dari tim lain, jika timnya mengalami nasib yang kurang beruntung.
c.
Berdasarkan hubungan antara tujuan dan tingkah laku.
a.
Kondisi tanpa konflik (No Conflict). Menurut padangan orang pada umumnya, mungkin
bahwa konfisi tanpa konflik merupakan kondisi yang diinginkan. Namun demikian,
kelompok atau masyarakat yang damai, jika ingin bertahan lama, maka harus hidup
dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikannya
secara kreatif.
b.
Konflik laten (Latent conflict). Konflik laten adalah konflik yang berada di
bawah permukaan. Konflik jenis ini perlu dibawa ke permukaan sebelum dapat
diselesaikan secara efektif.
c.
Konflik terbuka (Open Conflict). Konflik ini mengakar secara dalam serta sangat
terlihat jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar
serta efek yang terlihat.
d.
Konflik permukaan (Surface conflict). Konflik jenis ini memiliki akar yang
tidak dalam atau tidak mengakar. Mungkin pula bahwa konflik permukaan ini
muncul karena kesalahan pemahaaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan
perbaikan komunikasi.
d.
Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1.
Konflik Vertikal
Merupakan konflik
antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki.
Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah
kantor.
2.
Konflik Horizontal
Merupakan konflik
yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif
sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
3.
Konflik Diagonal
Merupakan konflik
yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh
organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik
yang terjadi di Aceh.
e.
Beradasrkan dampak yang timbul.
a.
Konflik fungsional; Konflik fungsional adalah jenis konflik yang apabila dampaknya
dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi kehidupan, baik individu, kelompok,
bangsa, dan negara, serta dapat dikelola dan dikendalikan dengan baik.
b.
Konflik infungsional; Konflik jenis ini adalah konflik yang apabila dampaknya justru
merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Soerjono
Soekanto (1992) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang
terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu
konflik yang timbul akibat
perbedaan-perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial,
yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas
sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang
terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional,
yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh
pada kedaulatan negara.
Sementara
itu, Ralf Dahrendorf (dalam Dr. Robert H. Lauer,2001) mengatakan bahwa konflik
dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial,
atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di
mana individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam
peranan yang dimilikinya.
2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan
tidak terorganisir.
4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai
politik, antar negara, atau organisasi internasional.
C.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya
Konflik Sosial
Para
sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan
sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat
terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Ketidakmerataan
pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk
ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu
berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset
sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan
pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga
menambahinya.Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai
status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need.
Pada
dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
1.
Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk
secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha,
pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan.
Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat
budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam
masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi
pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
2.
Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi
berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat
menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki
kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan
tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini
merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.
Namun
beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik-konflik, diantaranya yaitu:
1.
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik
antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan
pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya.
Membinasakan disini
tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan
dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak
disetujui.
Di dalam realitas
sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga
perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya
konflik sosial.
2.
Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik
antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang
berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang
berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas.
Selain itu, perbedaan
kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang
ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik.
Jika masingmasing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki
sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut
kebudayaan.
3.
Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masingmasing yang
berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan
kesempatan dan sarana.
Perbedaan pendirian,
budaya, kepentingan, dan sebagainya tersebut di atas sering terjadi pada
situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian perubahan-perubahan sosial
itu secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya
(peningkatan) konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat
dalam masyarakat akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku
di dalam masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan menyebabkan
perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.
Adapun
berdasarkan jenisnya, faktor penyebab terjadinya konflik dibedakan dalam 4
jenis yaitu:
1. Triggers (Pemicu), peristiwa yang memicu sebuah
konflik, namun tidak diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik
itu sendiri.
2. Pivotal factors or root causes (faktor
inti atau penyebab dasar), terletak pada akar konflik yang perlu ditangani
supaya pada akhirnya dapat mengatasi konflik.
3. Mobilizing factors (faktor yang memobilisasi),
masalah-masalah yang memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan.
4. Aggravating factors (faktor yang memperburuk),
faktor yang memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotal factors,
namun tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri
D. Dampak dari Adanya
Konflik terhadap Masyarakat
Tak
perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu
proses yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung
dengan keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai
akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung
dalam diskusi misalnya, jelas akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang
kurang terkaji secara benar akan tersisih. Positif atau tidaknya akibat
konflik-konflik memang tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan
tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik.
Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat yaitu:
a.
Dampak positif dari adanya konflik
1.
Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila
terjadi pertentangan antara kelompokkelompok, solidaritas antar anggota di
dalam masing-masing kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam
suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung
meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak-pihak luar.
2.
Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga masyarakat yang
semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam
masyarakat.
b.
Dampak negatif dari adanya konflik
1.
Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan
menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok
tersebut akan mengalami kehancuran.
2.
Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam suatu kelompok yang
mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki
kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah marah,
lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan.
3.
Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilainilai dan norma
sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya
bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial
akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat dari konflik.
E. Upaya-upaya Untuk
Mengatasi Konflik dan Resolusi Konflik
1)
Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik
Bagaimana Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan? Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik.
Berikut ini adalah
beberapa jenis metode penyelesaian konflik dan kekerasan, yakni:
1.
Pencegahan konflik (conflict prevention)
2.
Penanganan konflik (conflict settlement), upaya mengakhiri tingkah laku
kekerasan dengan mencapai kesepakatan perdamaian.
3.
Manajemen konflik (conflict management), bertujuan untuk membatasi dan
menghindari kekerasan yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang dengan
cara mendukung perubahan tingkah laku yang positif pada pihak-pihak yang terlibat.
4.
Resolusi konflik (conflict resolution), yaitu membahas berbagai penyebab
konflik dan mencoba untuk membangun hubungan baru dan abadi di antara kelompok-kelompok
yang saling bertikai.
5.
Transformasi konflik (conflict transformation), membahas sumber politik dan
sosial yang lebih luas dari suau konflik dan mencoba untuk mentransformasikan
energi negatif peperangan menjadi perubahan sosial dan politik yang bersifat
positif.
Adapun bentuk Penanganan
konflik (conflict settlement) dapat dilakukan dengan cara, antara lain:
1.
Konsiliasi (conciliation)
Pengendalian semacam ini
terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola
diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan
mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
2.
Mediasi (mediation)
Bentuk pengendalian
ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk
memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan
mereka.
3.
Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan
konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati.
Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada
pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang
tertinggi.
4.
Perwasitan
Di dalam hal ini
kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan keputusan-keputusan
tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.
2)
Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa
Inggris adalah conflict resolution. Pada umum resolusi konflik sering diartikan
sebagai suatu cara individu atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi dengan individu lain atau kelompok lain secara sukarela.
Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis
dan kontruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada
pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh diri mereka
sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu
pihak-pihak yang berkonflik guna menyelesaikan masalahnya
Berikut
beberapa pengertian resolusi konflik menurut para ahli:
•
Webster
Dictionary mendefinisikan resolusi adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan,
(2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.
•
Weitzman
& Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi
konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem
together).
•
Fisher
(2001: 7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama
diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
•
Mindes
(2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan
dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan
moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta
mengembangkan rasa keadilan.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan
konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk
memecahkan masalah mereka oleh mereka sendir atau dengan melibatkan pihak
ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik
memecahkan masalahnya.
Kemampuan Resolusi
Konflik. Bodine
and Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan
yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:
a.
Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi
dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap
yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
b.
Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi
adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu
dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain
melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian
sepihak.
c.
Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam
resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi,
termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
d.
Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi
dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami
lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau
menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang
netral atau kurang emosional.
e.
Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir
kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk
memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f.
Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir
kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan
menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak
jauh berbeda, Scannell (2010: 18) juga menyebutkan aspek – aspek yang
mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik
meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c)
kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi.
Bagaimana Pelaksanaan Resolusi Konflik ? Dalam kehidupan, konflik adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindarkan. Ketika seseorang menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Dengan dengan demikian, resolusi konflik adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan damai.
Menurut
Forsyth (1983), ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi
konflik, sehingga dapat mengubah seseorang yang berkonflik menjadi sebuah perdamaian
dan penyelesaian yang akur, yaitu:
a.
Commitment=Negotiation; negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara
lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan.
b.
Misperception=Understanding; konflik sering kali terjadi karena kesalahpahaman.
Orang-orang sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan
mereka, namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama
dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain tersebut sedang mengkritik mereka
secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan
pihak mereka. Seharusnya, setiap orang harus menghilangkan pola pikir seperti
itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan orang lain
di dalam diskusi.
Komunikasi saja tidak
cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman
serta tipu muslihat dapat dinetralisir. Komunikasi dapat membuka peluang
seseorang untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” jika komunikasi
itu buruk, oleh karena itu perlu melakukan pola komunikasi yang baik dan benar.
c.
Strong Tactics=Cooperative Tactics; taktik yang jitu akan mampu membuka peluang
untuk menyelesaikan sebuah konflik.
d.
Upward=Downward Conflict Spiral; kerjasama yang konsisten di antara orang-orang
untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi,
ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan
lebih sukar dipahami. Dalam hal ini, bisa dikatakan, bahwa orang akan bisa saling
bersaing jika cara hidup mereka diperuntukkan untuk bersaing. Namun, mereka akan
bisa bekerjasama, jika mereka memiliki keinginan yang sama untuk bekerjasama.
e.
Many=One; individu yang tidak terlibat dalam konflik, tidak sepatutnya memihak
kepada salah satu dari pihak-pihak yang bertikai. Melainkan ia harus menjadi
seorang mediator dan menyelesaikan konflik tersebut. Ia juga harus bersikap
netral, agar penyelesaian konflik bisa berjalan dengan lancar dan hasil
perdamaian bisa didapat.
f.
Anger=composure; ketika keadaan “memanas”, seseorang yang bertentangan harus
mampu mengontrol emosinya. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah
dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon. Humor dapat
memberikan emosi yang positif dan meredam emosi negatif seperti amarah
Jika
upaya resolusi konflik tidak dapat menyelesaikan masalah, maka upaya penyelesaian
konflik atau masalah terbaik yang selanjutnya dapat dilakukan adalah melalui keterlibatan
pemerintah yang dapat dilakukan melalui jalur hukum.
Bahan
Bacaan
Dr.
Robert H. Lauer. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Donelson R. Forsyth. 1983. An Introduction To Group Dynamics. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,.
J.
Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nasikun.
2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Robert
lawing. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Soerjono
Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soerjono
Soekanto. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Demikian
sumbangsih materi tentang Konflik Sosial,
Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan
Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan. Semoga dengan tambahan
materi tersebut pserta didik dapat menganalisis konflik sosial dan cara
memberikan respons untuk melakukan resolusi konflik dan pemecahan masalah konflik
dan kekerasan demi terciptanya kehidupan yang damai di masyarakat. Lebih dari
itu diharapkan para peserta didik dapat memetakan konflik untuk dapat melakukan
resolusi konflik dan memberikan solusi terhadap konflik dan kekerasan untuk
menumbuhkembangkan perdamaian di masyarakat. Terima kasih, semoga ada
manfaatnya.