BANYAK SEKOLAH KEKURANGAN MURID, MENGAPA ADA SEKOLAH RAKYAT
Kementerian Sosial (Kemensos) baru-baru ini menggagas pendirian Sekolah Rakyat sebagai upaya untuk memperluas akses pendidikan bagi masyarakat marginal. Meskipun niatnya tampak mulia, kebijakan ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama jika dilihat dari realitas pendidikan di berbagai daerah Indonesia saat ini: banyak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang kekurangan murid.
Banyak sekolah formal di
pelosok negeri menghadapi ancaman tutup karena jumlah murid yang tidak
mencukupi. Fenomena ini terjadi akibat berbagai faktor, seperti keberhasilan program Keluarga Berencana,
migrasi penduduk, hingga rendahnya daya tarik sekolah formal karena
keterbatasan fasilitas dan guru yang
berkualitas.
Alih-alih memperkuat
sekolah-sekolah yang sudah ada, kebijakan pendirian Sekolah Rakyat justru
terkesan menciptakan sistem baru yang belum tentu memiliki legitimasi
pendidikan yang kuat. Apakah Sekolah Rakyat ini akan diakui secara akademis?
Bagaimana kualitas pengajarnya? Apakah akan ada sertifikasi resmi bagi
lulusannya?
Kebijakan ini juga
menimbulkan pertanyaan soal pembagian kewenangan antar kementerian. Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya adalah ranah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Keterlibatan Kemensos dalam membentuk
lembaga pendidikan bisa memicu tumpang tindih kebijakan dan konflik
administratif. Jika niatnya adalah memberikan pendidikan non-formal atau
pelatihan keterampilan bagi masyarakat miskin, bukankah pendekatan kolaboratif
lintas kementerian lebih ideal?
Di sisi efisiensi, kebijakan
ini berpotensi menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Mendirikan institusi
baru membutuhkan pembiayaan besar untuk sarana, prasarana, SDM, dan
operasional. Padahal, sekolah formal yang kekurangan siswa justru membutuhkan
dukungan tersebut agar tetap hidup dan berkembang. Ini merupakan contoh
redundansi kebijakan, yaitu kebijakan baru yang berjalan paralel atau bahkan
bertabrakan dengan kebijakan yang sudah ada.
Daripada membentuk entitas
baru, akan lebih efektif jika Kemensos bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang
kekurangan murid. Misalnya, dengan memberi bantuan sosial untuk biaya
transportasi, seragam, atau alat sekolah kepada keluarga tidak mampu agar
anak-anak mereka tetap bisa bersekolah. Selain itu, revitalisasi
sekolah-sekolah kecil dengan pendekatan komunitas akan lebih berdampak daripada
mendirikan institusi baru yang belum teruji.
Gagasan Sekolah Rakyat dari
Kemensos memang terdengar inovatif, namun perlu kajian mendalam dan koordinasi lintas
sektor, kebijakan ini berisiko menjadi solusi semu. Di tengah sekolah formal
yang sepi murid, tantangan kita bukan menambah bangunan atau program baru,
tetapi menghidupkan kembali yang sudah ada. Pendidikan bukan hanya tentang
jumlah sekolah, tetapi tentang akses, kualitas, dan keberlanjutan.
Menurut hemat penulis, jika masalah sebenarnya adalah keterbatasan akses atau insentif bagi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka solusi ideal seharusnya difokuskan pada penguatan aksesibilitas dan daya dukung sekolah formal yang sudah ada, bukan pendirian institusi baru. (Penulis: Aina Mulyana, Profesi Sebagai Pendamping Satuan Pendidikan)
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Maaf, Komentar yang disertai Link Aktif akan terhapus oleh sistem