Pengertian Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Emosional
Emosi berasal dari
perkataan emotus atau emovere, yang artinya mencerca “to
strip up”, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, emosi dapat
diartikan sebagai: 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut diwaktu
singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, seperti kegembiraan,
kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subyektif.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
Crow & Crow (Efendi dan Praja, 1985:81) mengatakan, bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment, atau penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu tersebut.
W. James dan Carl Lange (Efendi dan Praja, 1985:82)
mengatakan, bahwa emosi ditimbulkan
karena adanya perubahan-perubahan pada sistem vasomater “otak-otak” atau
perubahan jasmaniah individu. Misalnya, individu merasa senang, karena ia
tertawa bukan tertawa karena senang, dan sedih karena menangis. Menurut Harvey
Carr, bahwa emosi adalah penyesuaian
organis yang timbul secara otomatis pada manusia dalam menghadapi
situasi-situasi tertentu. Misalnya, emosi
marah timbul jika organisme dihadapkan pada rintangan yang menghambat
kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan daya dikerahkan untuk
mengatasi rintangan itu dengan diiringi oleh gejala-gejala seperti denyut
jantung yang meninggi, pernafasan semakin cepat, dan sebagainya.
Sedangkan menurut W.B. Cannon, bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh
organisme dalam situasi emergency “darurat”. Teori emergency, didasarkan pada
pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf
simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sacral daripada susunan syaraf
otonom. Jadi, apabila saraf-saraf simpatis aktif, maka saraf otonom non aktif,
dan demikian sebaliknya.
Dari ungkapan teori di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa emosi adalah
merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu.
Yang dimaksud warna afektif, adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami
pada saat menghadapi situasi tertentu, misalnya gembira, bahagia, putus asa,
terkejut, benci (tidak senang), iri, cemburu, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari psikologi analisa, maka
emosi dapat dijelaskan secara
berbeda-beda, karena ada dua hal yang mendasari pengertian emosi menurut psikologi analisa, yaitu:
a. Naluri
kelamin “sexual instinct”, yang oleh Freud disebut juga “libido”, yaitu
merupakan motif utama dan fundamental yang menjadi tenaga pendorong pada
bayi-bayi baru lahir.
b. Naluri
terdapat pada ego, ini adalah lawan dari libido, yang menganut prinsip
kenyataan, karena mengawasi dan menguasai libido dalam batas-batas yang dapat
diterima oleh lingkungan. Di lain pihak ego juga berusaha merumuskan libidonya,
prinsip ini terdapat pada orang-orang yang sudah lebih dewasa.
Dalam rangka inilah, Freud mengembangkan
doktrinnya mengenai emosi, yang
kemudian dibatasinya hanya pada kecemasan “anxiety”, sebagai salah satu bentuk emosi yang sangat penting dalam teori
psikoanalisa. Anxiety timbul karena pertentangan antara kedua prinsip tadi,
yaitu prinsip kesenangan “libido” dan prinsip kenyataan. Dan macam-macam
anxiety, adalah sebagai berikut:
a. Obyektive
anxiety. Ini timbul karena akibat lemahnya ego terhadap ide, karena sejak lahir
seorang individu telah dihadapkan kepada keadaan obyektif yang bersifat
menekan. Obyektive anxiety yang primer adalah trauma kelahiran, yang merupakan
dasar bagi timbulnya obyektive anxiety lainnya (skunder dan seterusnya).
b. Neurotic
anxiety. Ini timbul dari obyektive anxiety, khususnya timbul karena perasaan
takut terhadap akibat yang mungkin timbul bilamana tuntutan libido dipenuhi,
terlebih lagi kalau akibat itu punya arti sosial. Neurotic anxiety, mempunyai
dua bentuk, yaitu:
1) Free-floating
anxiety, yaitu suatu keadaan cemas di mana individu selalu menantikan sesuatu
yang paling buruk yang mungkin terjadi, akibatnya ia akan selalu berada dalam
keadaan cemas takut menghadapi akibat yang buruk dalam situasi yang tidak
menentu.
2) Phobia,
di sini obyek yang ditakuti jelas, hanya alasan-alasannya mengapa individu
takut tidak jelas.
c. Moral
anxiety. Kecemasan ini timbul dari akibat lemahnya ego terhadap super ego.
Super ego berkembang karena larangan-larangan dan pembatasan-pembatasan moril yang
berasal dari orang tua dan lingkungan, dengan kata lain, sumber dari moral
anxiety adalah obyek, yaitu takut kehilangan kasih sayang, dukungan, good-will
dari orang tua maupun orang lain dalam masyarakat. Juga moral anxiety, timbul
karena perasaan takut mendapat hukuman dari orang tua atau masyarakat.
CT. Morgan, bahwa terdapat beberapa aspek-aspek
emosi, yaitu bahwa:
a. Emosi adalah sesuatu yang sangat erat
hubungannya dengan kondisi tubuh, misalnya denyut jantung, sirkulasi darah, dan
pernafasan.
b. Emosi adalah sesuatu yang dilakukan
atau diekspresikan, misalnya tertawa, tersenyum, menangis.
c. Emosi adalah sesuatu yang dirasakan,
misalnya merasa jengkel, kecewa, senang.
d. Emosi juga merupakan suatu motif, sebab
ia mendorong individu untuk berbuat sesuatu, kalau individu itu beremosi, senang, atau mencegah melakukan
sesuatu kalau ia tidak senang.
Oleh karena itu, apabila seseorang sudah
dapat memanage, mengawasi, mengontrol, dan mengatur emosinya dengan tepat, baik ketika orang tersebut berhadapan dengan
pribadinya, berhadapan dengan orang lain, orang tua, teman-teman, atau
masyarakat, berhadapan dengan pekerjaan, atau masalah-masalah yang muncul, maka
orang tersebut sudah dapat dikatakan mempunyai kecerdasan emosional.
Karena kecerdasan emosional adalah potensi yang dimiliki
seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Menurut Devies dan rekan-rekannya, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya
sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun
proses berpikir serta perilaku seseorang. Adapun Eko Maulana Ali Suroso
(2004:127) mengatakan, bahwa kecerdasan
emosional adalah sebagai serangkaian
kecakapan untuk memahami bahwa pengendalian emosi dapat melapangkan jalan untuk memecahkan persoalan yang
dihadapi.
Kecerdasan emosi merupakan
kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh seseorang dan sangat berguna untuk
menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah kondisi kehidupan yang tidak
menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan empati pada perasaan orang lain. Orang yang cerdas emosinya, akan menampakkan kematangan dalam pribadinya serta kondisi emosionalnya dalam keadaan terkontrol. Kecerdasan emosional merupakan daya dorong yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi, dan mengaktifkan aspirasi nilai-nilai kita yang paling dalam “inner beauty”, mengubahnya dari apa yang dipikirkan menjadi apa yang kita jalani.
Jadi, kecerdasan
emosional adalah gabungan dari semua
emosional dan kemampuan sosial untuk
menghadapi seluruh aspek kehidupan manusia.
Kemampuan emosional meliputi,
sadar akan kemampuan emosi diri
sendiri, kemampuan mengelola emosi,
kemampuan memotivasi diri, kemampuan menyatakan perasaan orang lain, dan pandai
menjalin hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini, merupakan kemampuan yang
unik yang terdapat di dalam diri seseorang, karenanya hal ini merupakan sesuatu
yang sangat penting dalam kemampuan psikologi seseorang. Dan apabila kemampuan
untuk memahami dan mengendalikan emosi
siswa dalam belajar sudah baik, maka hal itu akan menumbuhkan semangat,
motivasi, dan minat untuk belajar pada diri siswa.
Menurut JB. Waston, bahwa pada dasarnya
manusia mempunyai tiga emosi dasar,
yaitu:
a) Fear
“takut”, yang dalam perkembangan selanjutnya bisa menjadi anxiety “cemas”.
b) Rage
“kemarahan”, yang akan berkembang antara lain menjadi anger “marah”.
c) Love
“cinta”, yang akan berkembang menjadi simpati.
Sedangkan menurut R. Descartes sebagaimana
dikutip oleh E. Usman Efendi dan Juhaya S. Praja, bahwa emosi-emosi dasar yang
terdapat pada manusia sebanyak enam macam, yaitu:
a) Desire
“keinginan”
b) Hate
“benci”
c) Wonder
“kagum”
d) Sorrow
“kesedihan”
e) Love
“cinta”
f) Joy
“kegembiraan”.
Emosi sebagai suatu
peristiwa psikologis, mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a) Lebih
bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan
dan berpikir.
a) Bersifat
tidak tetap (fluktuatif).
b) Banyak
berkaitan dengan peristiwa pengenalan panca indera.
c) Berlansung
singkat dan berakhir tiba-tiba.
d) Terlihat
lebih kuat dan hebat.
e) Bersifat
sementara dan dangkal.
f) Lebih
sering terjadi.
g) Dapat
diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya.
Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa
ciri-ciri utama dari pikiran-pikiran emosional,
adalah sebagai berikut:
a) Respon yang cepat tetapi ceroboh.
b) Pertama adalah perasaan, kedua pemikiran.
c) Realitas simbolik yang seperti anak-anak.
d) Masa lampau yang diposisikan masa
sekarang.
e) Realitas yang ditentukan oleh keadaan.
Kecerdasan Emosional |
Emosi dapat dikelompokkan
ke dalam dua bagian, yaitu emosi
sensoris dan kejiwaan (psikis), yaitu sebagai berikut:
1) Emosi sensoris, yaitu emosi
yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin,
manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2) Emosi psikis, yaitu emosi
yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, di antaranya adalah:
3) Perasaan intelektual,
yaitu yang mempunyai hubungannya dengan ruang lingkup kebenaran.
4) Perasaan sosial,
yaitu perasaan yang menyangkut hubungannya dengan orang lain, baik bersifat
perorangan maupun kelompok.
5) Perasaan susila,
yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika.
6) Perasaan keindahan
(estetika), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu,
baik bersifat kebendaan atau kerohanian.
7)
Perasaan
ketuhanan, yaitu salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan,
dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
Dalam menelaah kompetensi seseorang yang
didasarkan pada tingkat kecerdasan emosional, maka dapat dikelompokkan ke
dalam empat dimensi, yaitu:
1. Kesadaran diri sendiri
Kemampuan seseorang
sangat tergantung kepada kesadaran dirinya sendiri, juga sangat tergantung
kepada pengendalian emosionalnya.
Apabila seseorang dapat mengendalikan emosinya
dengan sebaik-baiknya, memanfaatkan mekanisme berpikir yang tersistem dan
kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan mampu mengendalikan emosinya sendiri dan menilai kapasitas
dirinya sendiri. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi, akan memahami betul
tentang impian, tujuan, dan nilai yang melandasi perilaku hidupnya.
Apabila seseorang
telah mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada dirinya kesadaran
akan emosinya sendiri, penilaian
terhadap dirinya secara akurat, dan percaya akan dirinya sendiri.
2. Pengelolaan diri sendiri
Seseorang, sebelum
mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus terlebih dahulu mampu memimpin
atau menguasai dirinya sendiri. Orang tersebut harus tahu tingkat emosional, keunggulan, dan kelemahan
dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional
tidak disadari, maka orang tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika emosinya. Manakala kebetulan resonansi
yang dipancarkan dari amygdale-nya, maka gelombang positif yang dapat ditangkap
oleh orang lain secara efektif, dan komunikasi pun dapat berjalan dengan baik.
Tetapi manakala yang terpancar dari amygdale-nya disonansi, maka yang dapat
ditangkap oleh orang lain hanyalah kemarahan dan emosional yang tak terkendali, akhirnya komunikasi tidak berjalan
dengan baik.
Untuk menciptakan
tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri, transparansi,
penyesuaian diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan optimistis.
3. Kesadaran sosial
Sebagai makhluk
sosial, kita harus dan selalu berhubungan dan bergesekan dengan orang lain,
baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, karena kita tidak
akan dapat hidup sendiri tanpa orang lain.
Oleh karena itu,
semua orang harus memiliki kesadaran sosial, dan apabila seseorang telah
mempunyai kesadaran sosial, maka dalam dirinya akan muncul empati, kesadaran,
dan pelayanan.
Manajemen hubungan
sosial
Apabila seseorang
telah memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan secara efektif emosionalnya, memanage dirinya sendiri,
dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu satu langkah lagi, yaitu
bagaimana memanage hubungan sosial yang telah berhasil dibangun agar dapat
bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal ini, yang disebut sebagai
manajemen hubungan sosial. Jadi, manajemen hubungan sosial merupakan muara dari
derajat kompetensi emosional dan
intelegensi.
Dalam rangka memanage
hubungan sosial tersebut, seseorang harus memiliki kemampuan sebagai
inspirator, mempengaruhi orang lain, membangun kapasitas, katalisator
perubahan, kemampuan memanage konflik, dan mendorong kerjasama yang baik dengan
orang lain atau masyarakat.
Norman Rosenthal, MD, bukunya yang berjudul
“The Emotional Revolution”, menjelaskan cara untuk meningkatkan kecerdasan
emosional, yaitu
1)
Coba
rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin
ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan
bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk
merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari
gangguan luar.
2)
Jangan
menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak
mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya.
Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga
memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang
perasaan Anda sebelum sampai puncak.
3)
Lihat
bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang
sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri
sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini
dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari
situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
4)
Hubungkan
perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang
menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya
pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan
bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah
seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui
semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
5)
Dengarkan
tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa
pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda
akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan
petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda
dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk
mendapatkan kekuatan nalar.
6)
Jika
Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak
orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita.
Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana
mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan,
baik dan mencerahkan.
7)
Masuk
ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar
Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda
berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan
notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda
segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi
berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
8)
Tanyakan
pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai
besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya
dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari,
luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran
dengan perasaan Anda.
9)
Tulislah
pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal
emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam
per minggu.
10)
Tahu
kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke
dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak
hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di
dunia sekitar Anda.
Menurut Goleman terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: Faktor internal, yakni faktor yang
timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional
seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik,
lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional, dan Faktor
Eksternal yakni faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau
mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan,
secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga
dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik
cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan menurut Agustian (2007)
faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: faktor psikologis,
faktor pelatihan emosi dan faktor pendidikan
1) Faktor
psikologis
Faktor psikologis
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini
akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan
mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.
Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak
emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik
terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas
pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis
dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan
fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi.
Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
2) Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang
dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin
tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai
(value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi
suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih.
Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional
yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga
tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa
sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan
penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
3) Faktor pendidikan
Pendidikan dapat
menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan
emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana
mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah,
tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah
tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan
kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja.
Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman
keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu
mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas,
ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau
sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi
Pustaka
Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
Agustian, A. G. 2007. Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual
Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: ARGA
Publishing
E. Usman Efendi dan
Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1985)
Eko Maulana Ali
Suroso, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ, (Jakarta: Bars Media Komunikasi,
2004)
Nggermanto, A. 2002. Quantum Quotient
(Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung:
Penerbit Nuansa.
Tags:
Pembelajaran
Saya ucapkan terima kasih, karena sangat terbantu dengan tulisan yang Bapak bagikan. Tulisan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan profesionalisme guru serta dapat pula dijadikan referensi dalam penulisan karya ilmiah guru, terutama dalam penulisan Penelitian Tindakan Kelas. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, mudah-mudahan artikel tentang pembelajaran ini menjadi sarana amal kebajikan.
artikelnya bagus, lagunya juga asik asik. btw lagu yang di playlist pertama lagu siapa ya? judulnya apa? enak banget didenger, boleh kirim email please nirlahasan@yahoo.com.
makasih