Mahkamah
Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah menetapkan frasa 4 Pilar Kebangsaan
dalam Undang-Undang No 2. Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan
UUD 1945.
Adapun pokok perkara yang diajukan oleh pemohon (kelompok masyarakat dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pemohon) adalah Pasal 34 ayat 3b huruf a UU. No. 2 Tahun 2011. Ayat dalam pasal tersebut berbunyi: “Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a.Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ………………………………
Adapun pokok perkara yang diajukan oleh pemohon (kelompok masyarakat dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pemohon) adalah Pasal 34 ayat 3b huruf a UU. No. 2 Tahun 2011. Ayat dalam pasal tersebut berbunyi: “Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a.Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ………………………………
Pasal
tersebut yang mendudukan Pancasila sebagai bagian dari konsep 4 pilar
kebangsaan dianggap bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke-4
sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum. Pancasila yang semenjak lahirnya
Bangsa Indonesia digagas oleh para pendiri bangsa sebagai falsafah dan ideologi
bangsa tidak seharusnya ditempatkan sebagai pilar kebangsaan. Mendudukan
Pancasila secara sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI dalam 4
pilar kebangsaan dianggap mendegradasi keluhuran Pancasila sebagai Dasar
Negara. Apalagi 4 Pilar Kebangsaan disusun tidak berdasarkan kajian ilmiah dan historis
bahkan istilah pilar hanya diambil dari kamus besar bahasa Indonesia.
Rapat
Permusyawaratan Hakim MK pun akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan
tersebut dan menganggap istilah 4 Pilar Kebangsaan dengan keberadaan Pancasila
di dalamnya sebagai hal yang rancu dan dapat menimbulkan kekacauan baik
dari sudut makna maupun proses lahirnya Pancasila.
Selain
mengabulkan permohonan tersebut, dalam amar putusannya MK juga secara tegas
menyebutkan bahwafrasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam Pasal 34
ayat(3b) UU. No 2 Tahun 2011 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Frasa tersebut juga tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Jimly:
Sudah Dibatalkan MK, Frasa Empat Pilar Kebangsaan Jangan Digunakan Lagi
Pakar
hukum tata negara Jimly Asshiddiqie kembali menegaskan bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK) telah membatalkan frasa "Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara" sehingga perlu menjadi perhatian semua pihak.
"Jadi
saya harapkan putusan MK tentang pembatalan frasa empat pilar harus kita
jadikan pegangan," kata Jimly Asshiddiqie yang pernah menjabat sebagai
Ketua Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Minggu (17/5/2015).
Dengan
demikian, kata dia, tidak perlu ada perdebatan lagi mengenai frasa empat pilar.
Dia juga menyarankan agar MPR tidak lagi menyosialisasikan Empat Pilar
Kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pancasila jangan
lagi ditempatkan sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa bernegara. Karena Pancasila adalah
filosofi berbangsa, dasar negara. Saran saya, kegiatan sosialisasi diganti saja
dengan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat dan pengkajian. Karena sosialisasi
itu kegiatan eksekutif atau pemerintah," katanya.
Dia
menambahkan, dengan penyebutan sebagai pilar, seolah-olah dianggap setara
dengan yang lain dan pada akhirnya menimbulkan salah paham di masyarakat.
Seharusnya,
kata dia, MPR menghormati putusan MK dalam Amar Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014
yang membatalkan frasa "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara" dalam
Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terkait Pancasila pilar
kebangsaan.
Sebelumnya,
pada acara "Membumikan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara;
Pascaputusan MK", yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan dan Kajian Ulul
Albab Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Jimly
mengatakan, program sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh MPR harus mempertimbangkan
putusan MK dan sebaiknya tidak diteruskan.
Sementara
itu, pengamat hukum tata negara Refly Harun mengatakan, era reformasi yang
dimulai pada tahun 1998 seharusnya menjadi era untuk menemukan kembali tafsir Pancasila yang
benar sesuai prinsip demokrasi.
"Teks Pancasila sebagai
ideologi negara tetap sama sejak 1945, tetapi tafsirnya harus senantiasa
kontekstual, sesuai dengan jiwa dan spirit demokrasi yang berkembang, baik di
Indonesia maupun di belahan negara lain di dunia," katanya.
Link Download Putusan MK (disini)
Link Download Putusan MK (disini)
Demokrasi
dan Pancasila, kata dia, tidak bisa dipisahkan karena tanpa demokrasi, Pancasila tak
mungkin bertahan sebagai ideologi bangsa. (Sumber: kompas.com dan kompasiana.com)
====================================
Tags:
Berita