>

Model Pembelajaran Inovatif Dan Cara Penerapannya

Model Pembelajaran Inovatif dan Cara Penerapannya



Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada paradigma konstruktivistik. Pembelajaran inovatif biasanya berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu siswa untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.


Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan para siswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting kelas konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996; Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas, reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut menyediakan peluang kepada siswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam.

Setting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan secara aktif memiliki beberapa ciri: (1) menyediakan peluang kepada siswa belajar dari tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (2) mendukung kemandirian siswa belajar dan berdiskusi, membuat hubungan, merumuskan kembali ide-ide, dan menarik kesimpulan sendiri; (3) sharing dengan siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan hasil interpretasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada siswa dan penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.

Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana pengetahuan awal para siswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika pengetahuan awal para siswa diperbandingkan dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru.Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal para siswa sebelum pembelajaran adalah salah satu langkah yang efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.

Secara lebih spesifik, peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.

Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalahmasalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi prosesproses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa.

Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan memahami model-model pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran.

Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).


A. Model  Pembelajaran Kooperatif  Jigsaw
Langkah-langkah pembelajaran Model  Pembelajaran Kooperatif  Jigsaw adalah sebagai berikut :
(1) Kelompok cooperative (awal )
1.        Siswa dibagi kedalam kelompok kecil yang beranggotakan 3 – 5 orang.
2.        Bagikan wacana atau tugas yang sesuai dengan materi yang diajarkan
3.        Masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan wacana / tugas yang berbeda-beda dan memahami informasi yang ada didalamnya.


(2) Kelompok Ahli
1.        Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana / tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok ahli sesuai dengan wacana / tugas yang telah dipersiapakan oleh guru.
2.        Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar siswa belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang menjadi tanggung awabnya.
3.        Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana / tugas yang telah dipahami kepada kelompok cooperative.
4.        Apabila tugas sudah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli masing-masing siswa kembali kelompok cooperative (awal)
5.        Beri kesempatan secara bergiliran masing-masing siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok ahli.
6.        Apabila kelompok sudah menyelesaikan tugasnya, secara keseluruhan masing-masing kelompok melaporkan hasilnya dan guru memberi klarifikasi.

B. Model  Pembelajaran Kooperatif  Numberd Heads Together

Dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992) Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknik ini juga digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Langkah-langkah pembelajaran Model  Pembelajaran Kooperatif  Numberd Heads Together sebagai berikut :
1.        Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor urut.
2.        Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3.        Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini.
4.        Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
5.        Tanggapan dari kelompok yang lain
6.        Teknik Kepala Bernomor ini juga dapat dilanjutkan untuk mengubah komposisi kelompok yang biasanya dan bergabung dengan siswa-siswa lain yang bernomor sama dari kelompok lain.


C. Model  Pembelajaran Kooperatif  Group To Group Exchange

Model pembelajaran Pertukaran Kelompok Mengajar ini,  tugas yang berbeda diberikan kepada kelompok peserta didik yang berbeda. Masing-masing kelompok “mengajar” apa yang telah dipelajari untuk sisa kelas.

Langkah-langkah pembelajaran Model  Pembelajaran Kooperatif  Group To Group Exchange sebagai berikut :
1.        Pilihlah sebuah topik yang mencakup perbedaan ide, kejadian, posisi, konsep, pendekatan untuk ditugaskan. Topik haruslah sesuatu yang mengembangkan sebuah pertukaran pandangan atau informasi (kebalikan teknik debat)
2.        Bagilah kelas ke dalam beberapa kelompok, jumlah kelompok sesuai jumlah tugas. Diusahakan tugas masing-masing kelompok berbeda.
3.        Berikan cukup waktu untuk berdiskusi dan mempersiapkan bagaimana mereka dapat menyajikan topik yang telah mereka kerjakan.
4.        Bila diskusi telah selesai, mintalah kelompok memilih seorang juru bicara. Undanglah setiap juru bicara menyampaikan kepada kelompok lain.
5.        Setelah presentasi singkat, doronglah peserta didik bertanya pada presenter atau tawarkan pandangan mereka sendiri. Biarkan anggota juru bicara kelompok menanggapi.
6.        Lanjutkan sisa presentasi agar setiap kelompok memberikan informasi dan merespon pertanyaan juga komentar peserta. Bandingkan dan bedakan pandangan serta informasi yang saling ditukar. Contoh: Seorang pengajar membandingkan dua negara yang telah disepakati dengan menggunakan motede ini. Kelompok pertama membahas Costa Rica (dikenal negara yang aman) dan kelompok lain membahas El Savador (baru saja mengalami perang saudara). Setelah setiap kelompok mempresentasikan kebudayaan dan sejarah negara yang telah ditetapkan, diskusi diarahakan pada analisis “ mengapa dua negara tetangga tersebut memiliki perbedaan pengalaman”

Adapun Variasi Model pembelajaran Pertukaran Kelompok Mengajar dapat dilakukan dengan cara
1.        Mintalah setiap kelompok melakukan penelitian ekstensif sebelum presentasi.
2.        Gunakan bentuk diskusi panel atau fishbowl untuk masing-masing presentasi sub-kelompok.

D. Model  Pembelajaran Kooperatif  Decision Making

Pemecahan masalah (problem solving) adalah suatu bentuk cara belajar aktif yang mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir dan bertindak secara logis, kreatip dan krisis untuk memecahkan masalah. Dalam Proses Belajar Mengajar masalah yang dikemukakan anak antara lain dapat dipecahkan melalui diskusi, opservasi, klasifikasi, pengukuran, penarikan kesimpulan serta pembuktian hipotesis. Pemecahan maslah sangat penting diterapkan dan dipadukan dalam Proses Belajar Mengajar agar anak: dapat mengembangkan cara berpikir memecahkan masalah yang dijumpai sehari-hari baik dilingkungan terdekatnya maupun dilingkungan masyarakat yang lebih luas. Anak juga Dibekali kemampuan menghadapi tantangan baru yang akan muncul dalam kehidupannya dimasa depan sesuai dengan tanda-tanda jaman dan anak ibekali kemampuan dasar bagaimana menanggapi masalah merumuskan masalah dan memilih alternatif pemecahan secara tepat.

Menurut John Dewey pengambilan keputusan (decision making) tidak jarang disamakan dengan berpikir kritis, pemecahan masalah dengan berpikir logis serta berpikir replektif. Berpikir kritis (critical thinking) untuk sampai suatu kesimpulan diawali dengan pertanyaan dan pertimbangan kebenaran serta nilai apa yang sebenarnya ada dalam pertanyaan itu. Pemecahan masalah (problem solving), untuk sampai pada kesimpulan diawali dengan masalah yang dihadapi dan mempertanyakan bagaimana masalah itu dapat diselesaikan/dipecahan. Berpikir logis (logical thingking) untuk sampai pada suatu kesimpulan yang diutamakan adalah alur berpikirnya, mulai dari identifikasi, meramalkan, menganalisis fakta dan opini serta verifikasi.

Ketiga ketrampilan berpikir tersebut semuanya bermuara pada pengambilan keputusan untuk mendapatkan suatu alternatif/pilihan yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk tindakan. Dengan demikian dalam pengambilan keputusan bukan semata-mata bertujuan untuk memperoleh informasi atau pengetahuan, tetapi juga dilandasi oleh pertimbangan secara nalar dan penilaian, tindakan yang diambil akan dapat dipertanggungjawabkan. Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan ketrampilan mengumpulkan informasi tentang suatu permasalahan, berpikir kritis dan kreatif.

Langkah-langkah Model  Pembelajaran Kooperatif  Decision Making adalah sebagai berikut::
1.        Informasi tujuan dan Perumusan masalah.
2.        Secara klasikal tayangkan gambar, wacana atau kasus permasalahan yang sesuai dengan materi pelajaran atau kompetensi yang diharapkan
3.        Buatlah pertanyaan agar siswa dapat merumuskan permasalahan sesuai dengan gambar, wacana atau kasus yang disajikan.
4.        Secara kelompok siswa diminta mengidentifikasikan permasalahan dan membuat alternatif pemecahannya.
5.        Secara kelompok/individu siswa diminta mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dilingkungan sekitar siswa yang sesuai dengan materi yang dibahas dan cara pemecahannya.
6.        Secara kelompok/individu siswa diminta mengemukakan alasan mereka menilih alternatif tersebut.
7.        Secara kelompok/individu siswa diminta mencari penyebab terjadinya masalah tersebut.
8.        Secara kelompok/individu siswa diminta mengemukakan tindakan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.


E. Model Analisis Kasus
Ada dua pertimbangan yang dijadikan landasan bahwa model pembelajaran analisis kasus sangat penting dalam pengajaran PKn sebagai pendidikan nilai, moral, norma yaitu pertama, dunia dan potensi serta proses afektual peserta didik hanya dapat bergetar dan terlibatkan apabila ada media stimulus (perangsang) yang menggetarkan. Kedua, proses afektual sukar terjadi melalui bahan ajar yang konsepsional, teoritik dan normatif. Bahan ajar ini masih harus diolah dan dimanipulasi oleh guru menjadi media stimulus afektif berkadar tinggi.

Contoh cerita kasus (fiktif) “tabrak lari”. Ceritera tersebut dapat Saudara buat sendiri atau mengutif dari media massa. Contoh ceritera (fiktif) untuk stimulus:

KASUS “TABRAK LARI”

Suatu pagi Mas’an seorang tukang sayur yang biasa berkeliling di desa Malabar menyeberang jalan raya tanpa memperhatikan kendaran yang melintas jalan tersebut, tiba-tiba muncul sebuah minibus dengan kecepatan tinggi dan menabrak tukang sayur tersebut. Kaki Mas’an tergilas kendaran itu dan mengalami patah kaki. Supir minibus yang bernama Teddy sedang dalam keadaan mabuk  melarikan diri tanpa meperhatikan Mas’an. Masyarakat yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut mengejar Teddy dan tertangkap sekitar 3 kilometer dari tempat kejadian. Kemudian beberapa pemuda ramai-ramai memukuli Teddy hingga pingsan dan baru mereka berhenti setelah datang anggota polisi lalu lintas melindungi Teddy dan kelompok pemuda itu sendiri kabur.
Sedangkan Irwan dan Yandi siswa salah satu SMP di daerah itu memberi pertolongan kepada Mas’an dan membawanya ke Puskesmas terdekat. Istri Mas’an yang sedang hamil tua yang datang ke Puskesmas beberapa jam setelah kejadian menangis melihat suaminya terbaring tak berdaya. Padahal  biaya hidup dan sekolah anaknya hanya mengandalkan dari hasil jual sayuran yang tidak seberapa. Mas’an  sendiri pasrah dan akan memaafkan kelalaian Teddy.

Langkah pembuatan dan penggunaan model pembelajaran analisis kasus adalah  sebagai berikut.
1.    Menganalisis standar Kompetensi, Kompetensi Dasar  yang akan dijarakan, kemudian tentukan pencapaian target nilai-moral yang diharapkan melalui perumusan indikator pembelajaran
2.    Membuat ceritera dari suatu peristiwa yang pernah atau sering terjadi. Cerita tersebut mengandung nilai-moral dilematis dan sesuai dengan target nilai-moral  harapan
3.    Usahakan ceritera yang telah disiapkan itu diperbanyak sejumlah siswa, sehingga semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari ceritera tersebut.
4.    Pada saat pelaksanaan beri kesempatan kepada siswa untuk membaca ceritera itu sekitar 3- 5 menit, kemudian beberapa siswa diminta komentarnya terhadap materi ceritera itu. Atau bisa saja diberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh semua siswa, misalnya:
              Bagaimana perasaan kalian terhadap kejadian tersebut?
              Apa yang akan kalian lakukan jika menjadi  saudara atau isitri  tukang sayur? Apa yang akan dilakukan jika menjadi Teddy?
              Perbuatan-perbuatan apa yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
              Perbuatan-perbuatan apa yang dianggap sesuai dengan nilai-nilia Pancasila? dan sebagainya.
1.        Ajak siswa mendiskusikan  cerita tersebut dan arahkan pada nilai moral yang diharapan
2.        Menyimpulkan materi pembelajaran

F. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips
Talking adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa inggris yang berarti berbicara, sedangkan chips yang berarti kartu. Jadi arti talking chips adalah kartu untuk berbicara. Sedangkan talking chips dalam pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-5 orang, masing-masing anggota kelompok membawa sejumlah kartu yang berfungsi untuk menandai apabila mereka telah berpendapat dengan memasukkan kartu tersebut ke atas meja. Model pembelajaran talking chips atau kancing gemerincing merupakan salah satu model pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif.

Berdasarkan pada prosedur pelaksanaan pembelajarannya, Lie (2002: 14) membedakan pembelajaran kooperatif dalam beberapa tipe, yaitu make a match (mencari pasangan), Think–Fair–Share (berpikir - berpasangan - berbagi), bertukar pasangan, berkirim salam dan soal, numbered heads together (kepala bernomor), two stay two stray (dua tamu dua tinggal), talking chips (kartu berbicara), roundtable (meja bundar), inside–outside–circle (lingkaran besar lingkaran kecil), paired storytelling (berbicara berpasangan), three steps interview (tiga tahap wawancara), dan jigsaw.

Pembelajar kooperatif tipe talking chips pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Dalam kegiatan talking chips, masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan untuk memberikan kontruksi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Sebagaimana dinyatakan Masitoh dan Laksmi Dewi dalam bukunya Strategi Pembelajar (2009:244) model pembelajaran talking chips merupakan model pemelajaran kancing gemerincing yang dikembangkan oleh Spender Kagan (1992).

Dalam pelaksanaan talking chips setiap anggota kelompok diberi sejumlah kartu atau “chips” (biasanya dua sampai tiga kartu). Setiap kali salah seorang anggota kelompok menyampaikan pendapat dalam diskusi, ia harus meletakan satu kartunya ditengah kelompok. Setiap anggota diperkenankan menambah pendapatnya sampai semua kartu yang dimilikinya habis. Jika kartu yang dimilikinya habis, ia tidak boleh berbicara lagi sampai semua anggota kelomoknya juga menghabiskan semua kartu mereka. Jika semua kartu telah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil kesempatan untuk membagi-bagi kartu lagi dan diskusi dapat diteruskan kembali (Kagan, 2000 : 47).

Dengan demikian dalam penerapan model pembelajaran kooperatif Tipe Talking Chips: (1) siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4-6 orang perkelompok. (2) kelompoknya para siswa diminta untuk mendiskusikan suatu masalah atau materi pelajaran. ( 3 ) Setiap kelompok diberi 4-5 kartu yang digunakan untuk siswa berbicara. Setelah siswa mengemukakan pendapatnya, maka kartu disimpan di atas meja kelompoknya. Proses dilanjutkan sampai seluruh siswa dapat menggunakan kartunya untuk berbicara. Cara ini membuat tidak ada siswa yang mendominasi dan tidak ada siswa yang tidak aktif, semua siswa harus mengungkapkan pendapatnya. Disamping itu, penerapan model pembelajaran kooperatif teknik talking chips merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented), dimana model pembelajaran ini sesuai menempati posisi sentral sebagai subyek belajar melalui aktivitas mencari dan menemukan materi pelajaran sendiri.

Secara sederhana, penggunaan kartu dapat diganti oleh benda-benda kecil lainnya yang dapat menarik perhatian siswa, misalnya kancing, kacang merah, biji kenari, potongan sedotan, batang-batang lidi, sendok es krim, dan lain-lain. Karena benda-benda tersebut berbunyi gemerincing, maka istilah untuk talking chips dapat disebut juga dengan “kancing gemerincing” (Lie, 2002 : 63).   

Model pembelajaran talking chips dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak didik. Kegiatan kancing gemerincing membutuhkan pengelompokan siswa menjadi beberapa kelompok. Teknik ini dapat memberikan kontribusi siswa secara merata. Teknik ini dapat digunakan untuk berdiskusi, mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain ataupun untuk saling mengevaluasi hapalan. Teknik kancing gemerincing dirancang untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok, sering ada anggota yang terlalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya juga ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan.

Dengan menerapkan teknik talking chip ini dalam proses pembelajaran, diharapkan semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk aktif dalam mengemukakan pendapat sehingga terjadi pemerataan kesempatan dalam pembagian tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lie bahwa “dalam kegiatan kancing gemerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi mereka serta mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.

Menurut Sonia dalam  “Talking Chips (A Book of Multiple Intelligence Exercise From Spain, Talking chips mempunyai dua proses yang penting, yaitu; proses sosial dan proses dalam penguasaan materi. Proses sosial berperan penting dalam talking chips yang menuntut siswa untuk dapat bekerjasama dalam kelompoknya, sehingga para siswa dapat membangun pengetahuan mereka di dalam suatu bingkai sosial yaitu pada kelompoknya. Para siswa belajar untuk berdiskusi, meringkas, memperjelas suatu gagasan, dan konsep materi yang mereka pelajari, serta dapat memecahkan masalah-masalah.

Talking Chips mempunyai tujuan tidak hanya sekedar penguasaan bahan pelajaran, tetapi adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi tersebut. Hal ini menjadi ciri khas dalam pembelajaran kooperatif. Disamping itu, talking chips merupakan metode pembelajaran secara kelompok, maka kelompok merupakan tempat untuk mencapai tujuan sehingga kelompok harus mampu membuat siswa untuk belajar. Dengan demikian semua anggota kelompok harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Selain dengan kelompoknya, siswa juga dapat berinteraksi dengan anggota kelompok lain sehingga tercipta kondisi saling ketergantungan positif di dalam kelas mereka pada waktu yang sama. Proses penguasaan materi berjalan karena para siswa dituntut untuk dapat menguasai materi

Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tife Talking Chips
Menurut Masitoh dan Laksmi Dewi. (2009:244), terdapat lima langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tife Talking Chips, yaitu: 1) Guru menyiapkan kotak kecil yang berisikan kancing-kancing. 2) Setiap siswa dalam masing-masing kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing 3) Setiap kali seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat ide harus menyerahkan salah satu kancingnya;  4) Jika kancing yang dimiliki seorang siswa habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka. 5) Jika semua kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil kesepakatan untuk membagi-bagi kancing lagi dan mengulangi prosedurnya kembali

Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tife Talking Chips
Dalam pembelajaran kooperatif model talking chips masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain dalam kelompoknya. Keunggulan lain dari model ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok kooperatif yang lain sering ada anggota yang selalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya, ada juga anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan selalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan. Model pembelajaran talking chips memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.

Sedangkan kelemahan dalam model pembelajaran talking chips diantaranya: 1) tidak semua konsep dapat mengungkapkan model talking hips, disinilah tingkat profesionalitas seorang guru dapat dinilai. 2) pengelolaan waktu saat persiapan dan pelaksanaan perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama dalam proses pembentukan pengetahuan siswa. 3) pembelajaran model talking chips memerlukan persiapan yang cukup sulitm, 4) guru dituntut untuk dapat mengawasi setiap siswa yang ada di kelas, oleh karena itu cukup sulit dilakukan terutama jika jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak.


G. Model Pembelajaran Penemuan   (Discovery Learning)

Metode Discovery Learningadalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.

Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).

Sebagai strategi belajar,Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.

Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasisendiri.

Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.

Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang  lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).

Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar  diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

Adapun Kelebihan Penerapan  Discovery Learning
1.    Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
2.    Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
3.    Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
4.    Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
5.    Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6.    Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7.    Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
8.    Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
9.    Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
10. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses  belajar yang baru.
11. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
12. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
13. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
14. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
15. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
16. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
17. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
18. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

Adapun KelemahanPenerapan Discovery Learning
1.    Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
2.    Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
3.    Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
4.    Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
5.    Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
6.    Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untukberpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
           Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
1.      Menentukan tujuan pembelajaran.
2.      Melakukan identifikasi karakteristik siswapeserta didik (kemampuan awal, minat, gaya  belajar, dan sebagainya).
3.      Memilih materi pelajaran
4.      Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswapeserta didik secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)
5.      Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,  tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswapeserta didik
6.      Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
7.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswap eserta didik

           Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:

1. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.

Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

2.  Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut  permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisispermasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya  hipotesis.
Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).

Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis

5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka  dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan  siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran  atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

I. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).

Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.

Model pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran.

Berikut ini lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
1.   Permasalahan sebagai kajian.
2.   Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.
3.   Permasalahan sebagai contoh.
4.   Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses.
5.   Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik.

Peran guru, peserta didik dan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah dapat digambarkan berikut ini.
Guru sebagai Pelatih
Peserta Didik sebagai Problem Solver
Masalah sebagai Awal Tantangan dan Motivasi
Asking about thinking (bertanya tentang pemikiran).
Memonitor pembelajaran.
Probbing ( menantang peserta didik untuk berpikir ).
Menjaga agar peserta didik terlibat.
Mengatur dinamika kelompok.
Menjaga berlangsungnya proses.
Peserta yang aktif.
Terlibat langsung dalam pembelajaran.
Membangunpembelajaran.
Menarikuntuk   dipecahkan.
Menyediakan   kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari.
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
1.   Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah
2.   Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
3.   Pemodelan peranan orang dewasa.
4.   Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Berikut ini aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan.
5.   PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
6.   PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
7.   PBL melibatkan peserta didik dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
8.   Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
9.   Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan guru.

Pendekatan PBL mengacu pada hal-hal sebagai berikut ini.
  • Kurikulum : PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat.
  • Responsibility : PBL menekankan responsibility dan answerability para peserta didik ke diri dan panutannya.
  • Realisme : kegiatan peserta didik difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
  • Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan peserta didik untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
  • Umpan Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para peserta didik menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
  • Keterampilan Umum : PBL dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management.
  • Driving Questions :PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu peserta didik untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
  • Constructive Investigations :sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para peserta didik.
  • Autonomy :proyek menjadikan aktifitas peserta didik sangat penting.

Kelebihan Menggunakan PBL
1.   Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
2.   Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
3.   PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
4.   Metoda ini memiliki kecocokan terhadap konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut :
  • peserta didik memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences)yang berguna untuk memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya;
  • peserta didik belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered;
  • peserta didik mampu berpikir kritis, dan mengembangkan inisiatif.


Pembelajaran suatu materi pelajaran dengan menggunakan PBL sebagai basis model dilaksanakan dengan cara mengikuti lima langkah PBL dengan bobot atau kedalaman setiap langkahnya disesuaikan dengan mata pelajaran yang bersangkutan.

Jika dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran. Lebih jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta didik memperoleh kunci utama materi pembelajaran, sehingga tidak ada kemungkinan terlewatkan oleh peserta didik seperti yang dapat terjadi jika peserta didik mempelajari secara mandiri. Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar saja, sehingga peserta didik dapat mengembangkannya secara mandiri secara mendalam.

Berikut ini langkah-langkah Langkah-langkah Operasional Implementasi Model PBL dalam Proses Pembelajaran

1. Pendefinisian masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan dalam kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai kegiatan. Pertama, brainstorming yang dilaksanakan dengan cara semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendokumentasikan secara tertulis pendapat masing-masing dalam kertas kerja.

Selain itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang kurang dikenal dalam skenario tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada peserta didik yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman yang lain. Jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis dalam permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu dalam permasalahan kelompok.

Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam kelompok untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Fasilitator memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil peserta didik. Jika tujuan yang diinginkan oleh fasilitator belum disinggung oleh peserta didik, fasilitator mengusulkannya dengan memberikan alasannya. Pada akhir langkah peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk menjembataninya. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini, maka pendefinisian masalah dilakukan dengan mengikuti petunjuk.

2. Pembelajaran mandiri (Self Learning)
Setelah mengetahui tugasnya, masing-masing peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.

Di luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas untuk mengadakan pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut peserta didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus mengorganisasi informasi yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain dapat memahami relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.

3. Pertukaran pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Tiap kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap peserta didik menyampaikan hasil pembelajaran mandiri dengan cara mengintegrasikan hasil pembelajaran mandiri untuk mendapatkan kesimpulan kelompok. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dokumentasi akhir. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini maka dilakukan dengan mengikuti petunjuk.

4. Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.


J. Model Pembelajaran Berbasis Proyek/Project Based Learning Konsep/Definisi

Pembelajaran Berbasis Proyek(Project Based Learning=PjBL)adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.

Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyekdirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.

Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBLmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran berbasis proyekmemberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Pembelajaran berbasis proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.

Pembelajaran Berbasis proyekmemiliki karakteristik sebagai berikut:
1.    peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja
2.    adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik
3.    peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau     tantangan yang diajukan
4.    peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan
5.    proses evaluasi dijalankan secara kontinyu
6.    peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan
7.    produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, dan
8.    situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
9.    Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran berbasis proyeksebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.

Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyekantara lain berikut ini.
1.    Pembelajaran berbasis proyekmemerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek.
2.    Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
3.    Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
4.    Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
5.    Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.

Kelebihan Model pembelajaran berbasis proyek
1.    Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
2.    Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
3.    Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
4.    Meningkatkan kolaborasi.
5.    Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
6.    Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam mengelola sumber.
7.    Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
8.    Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
9.    Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
10. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.

Adapun Kelemahan pembelajaran berbasis proyek
1.    Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
2.    Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
3.    Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
4.    Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
5.    Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
6.    Ada kemungkinanpeserta didikyang kurang aktif dalam kerja kelompok.
7.    Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan

Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran berbasis proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran berbasis proyek membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa.

Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka telah lulus tes.

Langkah-langkah Operasional Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.

1. Penentuanpertanyaan mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.

2. Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the Project.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan  emikian peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta  mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

3. Menyusun jadwal (Create a Schedule)
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.

4. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap roses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang  penting.

5. Menguji hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

6. Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.


K. Model Pembelajaran Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998).

Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.

Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.

Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait

dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.

Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.

L. Model Pembelajaran Penelitian Jurisprudensial
Dasar pemikiran model ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hokum saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang produktif, setiap warga negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain. Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh masalah soaial, yang paling tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep keadilan, hak azasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a) mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya, (b) memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, (c) menguasai pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.

Yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini adalah konflik rasial dan etnis, konflik ideologi dan keagamaan, keamanan pribadi, konflik antar golongan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kerumitan dari masing-masing bidang kajian tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa. 

Model penelitian Jurisprudensial ini memiliki enam langkah pembelajaran (Joyse dan Weil, 1986:268). (1) Orientasi kasus, pada tahapan ini pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang ada. (2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang terjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan. (3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4) Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai. (5) Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut.

Sistem sosial yang berkembang, bahwa guru memulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap yang satu ke tahap lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk menyesuaikan tugas-tugas belajarnya pada masing-masing tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan dapat melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.

Prinsip reaksi yang berlangsung terutama yang terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif, menyetujui, atau tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru, merupakan reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberi pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman, dan kejelasan secara definitif. Untuk dapat memerankan hal tersebut, guru hendaknya dapat mengantisifasi nilai yang diajukan oleh siswa dan berkenaan dengan hal tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi siswa dengan hal-hal yang menantang dan melacak kebutuhan siswa lebih jauh.

Sistem pendukung yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen yang relevan dengan masalah. Seyogyanya disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus yang aktual. Guru dapat pula mengembangkan system pendukung dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi yang sangat langka atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam menerapkan model ini, dua hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat usia siswa dan lingkungan belajarnya.

Dampak pembelajaran model penelitian Jurisprudensial ini adalah: kemampuan mengasumsikan peranan siswa lain dan kemampuan dalam berdialog. Sedangkan dampak pengiring pembelajaran adalah: kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, empati/pluralisme, fakta tentang masalah sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi melakukan tindakan sosial.

M. Model Pembelajaran Penelitian Sosial
Model pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas di mana dia memfasilitasi siswa. Menurut Massialas dan Cox (dalam Joys dan Weil, 1986), bahwa suasana kelas yang reflektif memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: (1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada hipotesis sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti.

Model pembelajaran ini memiliki enam langkah pembelajaran. (1) Orientasi sebagai langkah untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan dibuktikan sebagai pembimbing atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3) Penjelasan dan pendefinisian istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis. (4) Eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian. (5) Pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang bersangkut paut dengan esensi hipotesis. (6) Merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan beberapa konsep yang erat kaitannya dengan hipotesis.

Prinsip sosial yang berkembang ditandai dengan adanya tindakan guru mengambil inisiatif untuk meneliti dan memandu siswa dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Siswa dalam melakukan proses penelitian akan sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian, dan ia harus memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses dari tahap satu hingga tahap akhir.

Prinsip reaksi guru lebih ditandai oleh peranannya sebagai konselor yang bertugas membantu para siswa untuk menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses belajar, merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan pembelajaran. Guru bertugas membantu siswa dalam penggunaan bahasa yang komunikatif, logika yang rasional, obyektif, pengertian tentang asumsi, dan berkomunikasi secara efektif dengan siswa lain. Akibat dari tugas tersebut, guru lebih memiliki peranan yang bersifat reflektif, di kelas tempatnya memfasilitasi siswa memahami dirinya dan mampu menemukan alur berpikir sendiri. Dengan demikian, guru selalu bertindak sebagai penjernih, pengarah, konselor, dan instruktur.

Sistem pendukung utama yang diperlukan dalam mengimplementasikan model pembelajaran ini adalah, pengembangan cara pemecahan masalah kehidupan yang fleksibel, sumber kepustakaan yang takterbatas, dan akses informasi yang lain sebagai sumber belajar yang baik. Lingkungan belajar yang kaya akan informasi sangat diperlukan keberadaanya, sehingga memberi peluang secara optimal kepada siswa untuk melakukan proses penelitian dengan baik.

Dampak pembelajaran model penelitian sosial ini adalah: penjagaan terhadap masalahmasalah sosial dan komitmen terhadap peningkatan kualitas siswa sebagai warganegara.

Sedangkan dampak pengiringnya adalah: penghargaan terhadap hak azasi manusia, tindakan sosial, dan toleransi dalam berdialog.

Kiat Mengajar Secara Efektif
Menurut Jeannette Vos dalam Buku Revolusi cara Belajar (The Learning Revolotion) bagian II halaman 296 memberikan lembar uji untuk guru dan pelatihan dalam memulai model program belajar cepat terpadu dengan menjelaskan enam kiat mengajar secara efektif sebagai berikut :

Ciptakan “kondisi” yang benar
1.    Orkestrasikan lingkungan
2.    Ciptakan suasana positif bagi guru dan siswa
3.    Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4.    Tentukan hasil dan sasaran: AMBAK – Apa manfaatnya bagiku?
5.    Visualisasikan tujuan anda
6.    Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7.    Pasanglah poster di sekeliling dinding

Presentasi yang benar
1.    Dapatkan gambar menyeluruh dulu, termasuk karya wisata
2.    Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
3.    Gambarlah, buatlah Pemetaan Pikiran, visualisasikan
4.    Gunakan konser musik aktif dan pasif.

Pikirkan
1.    Berpikirlah kreatif
2.    Berpikirlah kritis, konseptual, analitis. Reflektif
3.    Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4.    Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk menyimpan informasi secara permanen
5.    Berpikirlah tentang pikiran anda.

Ekspresikan
1.    Gunakan dan praktikkan
2.    Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi, sandiwara- untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan.
3.    Praktikkan
4.    Gunakan di luar sekolah

Lakukan
1.    Ubahlah siswa menjadi guru
2.    Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah anda miliki
3.    Tinjau, evaluasi, dan rayakan
4.    Sadarilah apa yang anda ketahui
5.    Evaluasilah diri/teman/instruktur anda
6.    Lakukan evaluasi berkelanjutan.

Perlu juga diketahui oleh pendidik sebagai fasilitator, bahwa terdapat enam jalur utama menuju otak dalam belajar menurut Gordon Dryden melalui :
1.    Apa yang kita lihat
2.    Apa yang kita dengar
3.    Apa yang kita kecap
4.    Apa yang kita sentuh
5.    Apa yang kita baui
6.    Apa yang kita lakukan

Terima kasih Anda telah membaca Artikel tentang Model-model Pembelajaran Inovatif dan Cara Penerapannya. Semoga tulisan bermanfaat untuk membantu peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. 








= Baca Juga =



18 Comments

Maaf, Komentar yang disertai Link Aktif akan terhapus oleh sistem

Previous Post Next Post


































Free site counter


































Free site counter