Sebagaimana di ketahui, mulai tahun 2006
secara serentak telah diimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan sejak tahun 2013 sudah diujicobakan Kurikulum 2013. Implementasi
KTSP dan K13 yang merupakan wujud penyempurnaan kurikulum akan berhasil apabila
disertai perubahan cara berpikir (mind set). Costa menyatakan changing
curriculum means changing your mind (1999:26).
Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak
hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan
teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut diperlukan agar para guru
dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar dengan KTSP maupun dengan
K13. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan esensi KTSP
dan K13 agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah.
Beberapa penekanan perubahan pikiran (mind
set) yang diperlukan adalah: (1) dari peran guru sebagai transmiter ke
fasilitator, pembimbing dan konsultan, (2) dari peran guru sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan menjadi hanya salah satu sumber belajar, (3) dari belajar didominasi
oleh guru menjadi didominasi oleh siswa, (4) dari belajar dijadwal secara ketat
menjadi terbuka, fleksibel sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasararkan
fakta menuju berbasis masalah dan proyek, (6) dari belajar berbasis teori
menuju dunia dan tindakan nyata serta refleksi, (7) dari kebiasaan pengulangan
dan latihan menuju perancangan dan penyelidikan, (8) dari taat aturan dan
prosedur menjadi penemuan dan penciptaan, (9) dari kompetitif menuju
kolaboratif, (10) dari fokus kelas menuju fokus masyarakat, (11) dari hasil
yang ditentukan sebelumnya menuju hasil yang terbuka, (12) dari belajar
mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif (13) dari penggunaan
komputer sebagai obyek belajar menuju penggunaan komputer sebagai alat belajar,
(14) dari presentasi media statis menuju interaksi multimedia yang dinamis,
(15) dari komunikasi sebatas ruang kelas menuju komunikasi yang tidak terbatas,
(16) dari penilaian hasil belajar secara normatif menuju pengukuran unjuk kerja
yang komprehensif. Sudah Anda melakukannya?
Pergeseran pola berpikir tersebut berimplikasi
pada penetapan tatanan tertentu dalam pembelajaran. Tatanan tertentu yang
menjadi fokus pembelajaran mendasarkan diri pada hakikat tuntutan perkembangan
iptek. Beberapa kecenderungan tersebut, antara lain: (1) penempatan empat pilar
pendidikan UNESCO: learning to know, leraning to do, learning to be, dan
leraning to life together sebagai paradigma pembelajaran, (2) kecenderungan
bergesernya orientasi pembelajaran dari teacher centered menuju student
centered, (3) kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju
competency-based curriculum, (4) perubahan teori pembelajaran dan
asesmen dari model behavioristik menuju model konstruktivistik, dan (5)
perubahan pendekatan teoretis menuju kontekstual, (6) perubahan paradigma
pembelajaran dari standardization menjadi customization, (7) dari
evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya mengukur convergen
thinking menuju openended question, performance assessment,
dan portfolio assessment, yang dapat mengukur divergen thinking.
============================================
============================================
Salah satu perubahan yang paling mendasar
yang seyogyanya timbul dengan diimplementasikan KTSP dan K13 adalah adalah perubahan
cara pembelajaran. Pembelajaran yang dapat mengakomodasi implementasi KTSP dan
K13 tetunya juga harus berubah dari yang telah biasa dilakukan yang cenderung pasif,
statik, dan mekanistik menuju pada pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran
inovatif adalah pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivitik yang
senantiasa mengakomodasi pengetahuan awal sebagai starting point.
Secara umum, pengetahuan awal berpengaruh
langsung dan tak langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung,
pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan
hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal
dapat mengoptimalkan kejelasan materi-materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi
penggunaan waktu belajar dan pembelajaran.
Di samping itu, pengetahuan awal mempengaruhi perasaan siswa dalam menilai
informasi yang dipresentasikan dalam sumbersumber belajar dan dalam kelas.
Banyak pengetahuan awal yang belum ilmiah sangat resistan untuk berubah.
Perubahan pengetahuan awal menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang
sangat terbatas, atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk dan diintegrasikan
oleh para siswa ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki.
Pengetahuan awal menunjuk pada isi mata
pelajaran. Pandangan konstruktivistik memberikan wawasan bahwa
konsepsi-konsepsi prapembelajaran menentukan proses dan hasil belajar. Konsepsi
tentang pengetahuan isi sangat penting untuk dikaji, karena sering menimbulkan
salah pemahaman. Duit (1996) menyatakan bahwa para siswa dan juga para guru
memiliki persepsi naif, mereka memandang pengetahuan dapat diproduksi secara alamiah
dan bukan hasil konstruksi manusia yang bersifat tentatif.
Konsepsi para guru mengenai tujuan-tujuan
pembelajaran pada umumnya dan tujuan sebuah peristiwa mengajar pada khususnya
sering tidak sesuai dengan konsepsi para siswa. Di satu sisi, para guru mungkin
memiliki konsepsi bahwa suatu kejadian tunggal mencerminkan fenomena-fenomena yang
saling berhubungan. Di sisi lain, para siswa mungkin tidak memiliki perspektif
seperti itu. Jika ini terjadi dalam event belajar, maka muncullah misunderstanding
di kalangan siswa.
Dalam pembelajaran, para guru relatif sulit
mengakomodasi pengetahuan awal siswa. Oleh sebab itu, isu mengenai pengetahuan
awal yang kurang ilmiah yang berurat berakar secara kuat di benak siswa
hendaknya secara kontinu menjadi pemikiran bagi para guru, para pengambil
keputusan pendidikan, dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang bermakna.
Dua faktor cukup esensial dalam pembelajaran
yang bermakna, yaitu orientasi desain dan evaluasi pembelajaran. Pembelajaran
hendaknya berorientasi pada fenomena dunia nyata dengan penggunaan pendakatan
saintifik. Pembelajaran hendaknya diupayakan dapat memberdayakan pengetahuan yang
telah dimiliki peserta didik dan penerapan evaluasi yang komprehesif, kerja
individu berbasis proyek, pemecahan masalah kolaboratif, dan kerja kooperatif
dalam kelompok-kelompok kecil. Upaya-upaya tersebut merupakan bagian integral
pendekatan konstruktivistik.
MODEL
PEMBELAJARAN INOVATIF
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang
lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih
memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri
(self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated
instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada paradigma
konstruktivistik.
Pembelajaran inovatif yang berlandaskan
paradigma konstruktivistik membantu siswa untuk menginternalisasi, membentuk
kembali, atau mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman
baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif
baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang
mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan para
siswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting kelas
konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi
pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan
pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook &
Brook, 1993; Duit, 1996; Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama
konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas,
reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut
menyediakan peluang kepada siswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam.
Seting pengajaran konstruktivistik yang
mendorong konstruksi pengetahuan secara aktif memiliki beberapa ciri: (1)
menyediakan peluang kepada siswa belajar dari tujuan yang ditetapkan dan
mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (2) mendukung kemandirian siswa belajar
dan berdiskusi, membuat hubungan, merumuskan kembali ide-ide, dan menarik kesimpulan
sendiri; (3) sharing dengan siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia
adalah tempat yang kompleks di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran
sering merupakan hasil interpretasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada
siswa dan penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.
Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan
suatu periode di mana pengetahuan awal para siswa didiskusikan secara
eksplisit. Dalam diskusi kelas yang menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan
konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya. Strategi konflik kognitif
cenderung memainkan peranan utama ketika pengetahuan awal para siswa
diperbandingkan dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru.
Untuk maksud tersebut, pemberdayaan
pengetahuan awal para siswa sebelum pembelajaran adalah salah satu langkah yang
efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.
Beberapa pendekatan pembelajaran sering
berfokus pada kemampuan metakognitif para siswa. Para siswa diberikan kebebasan
dalam mengembangkan keterampilan berpikir.
Pembelajaran mencoba memandu para siswa
menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa siswa sendiri secara
aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya telah
mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil
belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003).
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma
pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar
dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma
konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga focus belajar, yaitu: (1) proses,
(2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri
pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa
diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam
belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu,
paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai
manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang
dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen
untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan
berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih
berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif.
Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif
strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada
proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.
Fokus yang kedua—transfer belajar,
mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya
dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat
dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini
memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafat,
dan pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai bukti
pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam
situasi baru.
Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to
learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa
yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to
learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal
ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis
keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana
belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan
tujuan belajar yang disasar tersebut tentunya diupayakan pula untuk mencapai
hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal
dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari belajar
hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Belajar hafalan, miskin dengan
retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak menyediakan perhatian
terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya mampu
mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa
menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan
masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar
mengkonstruksi pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan
transfer. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima,
mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan
menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar.
Proses-proses kognitif utama meliputi
penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi,
mengorganisasi infromasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren
melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan
representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di
benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara
teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan
secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu siswa
mengkonstruksi tujuan belajar.
Menurut hasil forum Carnegie tentang
pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi ini
terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh Guru dalam pembelajaran.
Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja
baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis
data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan mempercepat
kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain.
Para Guru diharapkan dapat belajar sepanjang
hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung
pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru
tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki
pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya,
dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan bertindak atas dasar berpikir
yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan
pertimbangan-pertimbangan kritis. Para guru diharapkan menjadi masyarakat
memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan
materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran,
karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Secara lebih spesifik, peranan guru dalam
pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan
sebagai mediator.
Sebagai expert learners, guru
diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan
waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi,
memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit
mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor
siswa.
Sebagai manager, guru berkewajiban
memonitor hasil belajar para siswa dan masalahmasalah yang dihadapi mereka,
memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan
penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru berperan
sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi
prosesproses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan
siswa.
Sebagai mediator, guru memandu
mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi
representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap
positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan
pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para
siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir
kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran
guru adalah mengkreasi dan memahami model-model pembelajaran inovatif. Gunter et
al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step
procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran
cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran.
An instructional strategy is a method for
delivering instruction that is intended to help students achieve a learning
objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik,
tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur
dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah
operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma
yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction,
menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon
siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan
belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant
effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang
disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant
effects).
Berikut diberikan delapan contoh model
pembelajaran yang berlandaskan paradigm konstruktivistik, yaitu: model reasoning
and problem solving, model inquiry training, model problem-based
instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group investigation,
model problem-based learning, model penelitian Jurisprudensial, dan
model penelitian sosial.
1.
Model Reasoning and Problem Solving
Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan
paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content
maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum,
pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996).
Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning
and problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif.
Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan
keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas
untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada
di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking, critical
thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking adalah
kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan
dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat
dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang
rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan
refleksi.
Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah
menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis,
pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas
jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk
menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau
kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan
yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak
lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving
diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah
diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat
diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam
pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996),
yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah,
memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan, (2) mengeksplorasi
dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan,
membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji
pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
(4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar,
dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternative
pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan
masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya
peran guru sebagai transmitter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki
status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh
kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru
lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif,
fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam
proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah
berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar,
kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non
rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya
reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini
adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan
masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara
bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan,
keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap
ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.
Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci,
yaitu pengetahuan bersifat tentative , manusia memiliki sifat ingin tahu yang
alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip
pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua
mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga— kemandirian,
akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima
langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu: (1) menghadapkan masalah
(menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
(2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi,
memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi
variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan,
dan menjelaskan, dan (5) menganalisis proses penelitian untuk memperoleh
prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama,
kebebasan intelektual, dan kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi
siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat
terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan siswa dalam
pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam mengakomodasikan
segala ide yang berkembang.
Prinsip-prinsip reaksi yang harus
dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan
kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir
yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan,
menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas
interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah
berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual,
strategi penelitian, dan masalah yang menantang siswa untuk melakukan
penelitian.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini
adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya
adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa,
toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
3.
Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model
pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi
keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends et al.,
2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang
topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan
dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun
fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual
atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model
problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et
al., 2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau
isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa
untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi
guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi
masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi
melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan surve
dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil
pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan
apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model,
program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan
semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem sosial yang mendukung model ini
adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-asisted instruction,
minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang
efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan
adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut
dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan
pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan
untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen
yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan
kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang
kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan
dalam pemecahan masalah kompleks.
Dampak
pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan
lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
4.
Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh
seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh
dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber
dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau
masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan
pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian
intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat
intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual
terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses
perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi
konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook &
Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan
tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju
pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi
makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi
juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated
instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an
individual operation, the individual interacts with others to construct shared
knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual
memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah
konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan
masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi
demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian
konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual,
(6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan
pengetahuan secara bermakna.
Sistem sosial yang mendukung model ini
adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning
to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan
adalah: peranan guru sebagai fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran
tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis melalui
pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan member
peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan
konstruksi bertujuan menegosiasi dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan
untuk guru, peralatan eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi
yang mudah dimobilisasi.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah:
sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan
penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan
jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan,
penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
5.
Model Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup
investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar.
Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun
1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends,
1998).
Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep
pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi
sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan
(Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing;
(2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar
dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya
prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan
dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan
dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh
Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur
demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends,
1998). Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran
(Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok,
menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan
apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa
tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide,
berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat
inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan
presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting
(salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing
siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil
diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang
dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian
pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya
arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu
menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru
lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif.
Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas,
dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan
masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah.
Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan
dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan
berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan
kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan
untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah
dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan
konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses
pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah
hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa,
penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
6.
Model problem-based learning
Problem-based learning adalah suatu
pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan
masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui
stimulus dalam belajar (Fogarty, 1997).
Model problem based learning memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu
permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan
dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar
permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya
kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
(5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk
mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau
kinerja (performance).
Masalah dalam model problem based learning
mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau
simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan
kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined.
Representasi
atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan
kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek,
tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan masalah.
Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna.
Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda
serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Model problem-based learning dijalankan
dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3)
mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6)
menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan
alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan
(Fogarty, 1997).
Menemukan masalah. Pebelajar diberikan
masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan
sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang
pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan.
Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk
melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal
untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok
terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Mendefinisikan masalah. Pebelajar
mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan
dengan parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai
informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, pebelajar melibatkan
kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami
dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka
kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk
mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki
untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini,
pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa
yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan
“apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan
fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun
jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan. Dalam hal ini, pebelajar juga
melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan
apa yang dipikirkannya, membuat hubunganhubungan, jawaban dugaannya, dan
penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan
terhadap data-data dan informasi
yang diperolehnya berorientasi pada
permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam
memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat
struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara
untuk mengetahui dan memahami dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah
didefinisikan.
Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya
melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic
memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata
yang lebih tepat.
Perumusan
ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas
fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas
dalam menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan
secara kolaboratif.
Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan
permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk
mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses
pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif
pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi.Kolaborasi menjadi mediasi untuk
menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif
yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji
alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi
secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan
terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif
pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk
mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternative pemecahan.
Minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan merupakan ciri sistem social yang berkembang dalam pembelajaran
ini. Suasana kelas cenderung demokratis. Guru dan siswa memiliki peranan yang
sama yaitu memecahkan masalah, dan interaksi kelas dilandasi oleh kesepakatan
kelas.
Prinsip reaksi yang berkembang dalam
pembelajaran ini adalah, bahwa guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan,
sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran
tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan
masalah.
Sarana pembelajaran dalam model problem-based
learning adalah masalah-masalah aktual dan upayakan yang bersifat ill-defined
yang mampu menciptakan suasana konfrontatif dan dapat membangkitkan proses
metakognisi, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah yang
bersifat divergen.
Dalam model problem-based learning ini,
pemahaman, transfer pengetahuan, keterampilan berpikir tingkat tinggi,
kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi ilmiah merupakan dampak
langsung pembelajaran. Sedangkan peluang siswa memperoleh hakikat tentatif
keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi
terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin merupakan dampak pengiring
pembelajaran.
7.
Model Penelitian Jurisprudensial
Dasar pemikiran model ini adalah terkait
dengan konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang
berbeda mengenai nilai sosial yang secara hokum saling bertentangan satu sama
lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang
produktif, setiap warga negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat berbicara
kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain.
Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh
masalah soaial, yang paling tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep
keadilan, hak azasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi.
Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a)
mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik
yang ada di lingkungan negaranya, (b) memiliki seperangkat keterampilan untuk
dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, (c) menguasai
pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan negaranya.
Yang paling tepat digunakan sebagai bidang
kajian dalam model ini adalah konflik rasial dan etnis, konflik ideologi dan
keagamaan, keamanan pribadi, konflik antar golongan ekonomi, kesehatan,
pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat
kerumitan dari masing-masing bidang kajian tersebut tentu saja harus
disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.
Model penelitian Jurisprudensial ini memiliki
enam langkah pembelajaran (Joyse dan Weil, 1986:268). (1) Orientasi kasus,
pada tahapan ini pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang
ada. (2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa mensintesiskan
fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan
pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang terjadi,
mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan.
(3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi
atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai
tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4) Mengeksplorasi
contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan
titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh,
membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi
yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogi,
menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang
lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai. (5)
Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan
posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian
menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji
asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada
tahapan ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau
tidaknya, menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan
faktual dari konsekuensi tersebut.
Sistem sosial yang berkembang, bahwa guru
memulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap yang satu ke tahap lainnya
tergantung pada kemampuan para siswa untuk menyesuaikan tugas-tugas belajarnya
pada masing-masing tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses
Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan dapat melakukannya tanpa
bantuan dari orang lain.
Prinsip reaksi yang berlangsung terutama yang
terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif, menyetujui,
atau tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru, merupakan reaksi terhadap
komentar siswa dengan cara memberi pertanyaan mengenai relevansi, keajegan,
kekhususan, atau keumuman, dan kejelasan secara definitif. Untuk dapat memerankan
hal tersebut, guru hendaknya dapat mengantisifasi nilai yang diajukan oleh
siswa dan berkenaan dengan hal tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi
siswa dengan hal-hal yang menantang dan melacak kebutuhan siswa lebih jauh.
Sistem pendukung yang diperlukan dalam model
ini adalah sumber-sumber dokumen yang relevan dengan masalah. Seyogyanya
disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus
yang aktual. Guru dapat pula mengembangkan system pendukung dengan cara
merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi yang
sangat langka atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam menerapkan
model ini, dua hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat usia siswa dan lingkungan
belajarnya.
Dampak pembelajaran model penelitian
Jurisprudensial ini adalah: kemampuan mengasumsikan peranan siswa lain dan
kemampuan dalam berdialog. Sedangkan dampak pengiring pembelajaran adalah:
kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, empati/pluralisme, fakta tentang
masalah sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi melakukan tindakan sosial.
8.
Model Penelitian Sosial
Model pembelajaran penelitian sosial
mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas di
mana dia memfasilitasi siswa. Menurut Massialas dan Cox (dalam Joys dan Weil,
1986), bahwa suasana kelas yang reflektif memiliki tiga karakteristik utama,
yaitu: (1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada
hipotesis sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti.
Model pembelajaran ini memiliki enam langkah
pembelajaran. (1) Orientasi sebagai langkah untuk membuat siswa menjadi peka
terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat
penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan dibuktikan sebagai pembimbing
atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3) Penjelasan dan pendefinisian
istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis. (4) Eksplorasi dalam rangka menguji
hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal sebagai
dasar proses pengujian. (5) Pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang
bersangkut paut dengan esensi hipotesis. (6) Merumuskan generalisasi berupa
pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan beberapa
konsep yang erat kaitannya dengan hipotesis.
Prinsip sosial yang berkembang ditandai
dengan adanya tindakan guru mengambil inisiatif untuk meneliti dan memandu
siswa dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Siswa dalam melakukan proses
penelitian akan sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian, dan ia harus
memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses dari tahap satu hingga tahap akhir.
Prinsip reaksi guru lebih ditandai oleh
peranannya sebagai konselor yang bertugas membantu para siswa untuk
menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses belajar, merencanakan,
mengembangkan, dan melaksanakan pembelajaran. Guru bertugas membantu siswa
dalam penggunaan bahasa yang komunikatif, logika yang rasional, obyektif,
pengertian tentang asumsi, dan berkomunikasi secara efektif dengan siswa lain.
Akibat dari tugas tersebut, guru lebih memiliki peranan yang bersifat
reflektif, di kelas tempatnya memfasilitasi siswa memahami dirinya dan mampu
menemukan alur berpikir sendiri. Dengan demikian, guru selalu bertindak sebagai
penjernih, pengarah, konselor, dan instruktur.
Sistem pendukung utama yang diperlukan dalam
mengimplementasikan model pembelajaran ini adalah, pengembangan cara pemecahan
masalah kehidupan yang fleksibel, sumber kepustakaan yang takterbatas, dan
akses informasi yang lain sebagai sumber belajar yang baik. Lingkungan belajar
yang kaya akan informasi sangat diperlukan keberadaanya, sehingga memberi
peluang secara optimal kepada siswa untuk melakukan proses penelitian dengan
baik.
Dampak pembelajaran model penelitian sosial
ini adalah: penjagaan terhadap masalahmasalah sosial dan komitmen terhadap peningkatan
kualitas siswa sebagai warganegara. Sedangkan dampak pengiringnya adalah:
penghargaan terhadap hak azasi manusia, tindakan sosial, dan toleransi dalam
berdialog.
I think this blog is one of the best blogs . Through this blog gained a lot of new information about the educational issues that developed in Indonesia . This information really interesting and trustworthy . We are always waiting for the latest info other . We thank the admin who has posted the latest news
I think this blog is one of the best blogs . Through this blog gained a lot of new information about the educational issues that developed in Indonesia . This information really interesting and trustworthy . We are always waiting for the latest info other . We thank the admin who has posted the latest news
Pak, terima kasih atas informasinya. Posting bapak sangat menarik dan sesuai dengan profesi kami sebaga guru. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih
Artikelnya sangat menarik dan bermanfaat. Terima Kasih
Terimka kasih, gan, Posting agan sangat bermanfaat khusus untuk para guru dan siswa serta bagi institusi sekolah. Selamat dan sukses selalu.
Terima kasih, infonya sangat bermanfaat. Keren abiiiiiiizzzzzzzzzzzz
Mudah-mudahan pengetahuan tentang model model pembelajaran ini menjadi motivasi bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya