A. Makna Peraturan Perundang-undangan Nasional
Peraturan
perundangan-undangan berbeda dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang hanya
merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan
Peundang-Undangan itu sendiri adalah semua pertauran tertulis yang dibentuk
dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam
bentuk tertulis.
Menurut
Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
dinyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi peraturan perundang-undangan, antara
lain sebagai berikut:
a)
sebagai
norma hukum bagi warga negara karena beisi peraturan untuk membatasi tingkah
laku manusia sebagai warga negara yang harus ditaati, dipatuhi, dan
dilaksanakan. Bagi mereka yang melanggar diberi sanksi atau hukum sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sehingga terjamin rasa keadilan dan kebenaran.
b)
Menentukan
aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan hubungan antar sesama
manusia sebabagi warga negara dan warga masyarakat
c)
untuk
mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar kehidupannya sejahtera.
aman, rukun, dan harmonis;
d)
untuk
menciptakan suasana aman, tertib, tenteram dan kehidupan yang harmonis rasa.
e)
untuk
memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.
f)
untuk
memberikan perlindungan atas hak asasi manusia.
Untuk
memahami perundang-undangan yang berlaku, kita harus memahami susunan tata
urutan perundang-undangan. Ini disebabkan susunan tata urutan
perundangan-undangan mengajar prinsip-prinsip:
a)
Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau
dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di
bawahnya.
b)
Peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar
hukum dari peraturan perundangan-undangan tingkat lebih tinggi.
c)
Isi
atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
d)
Suatu
peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang
sederajat.
e)
Peraturan
perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, perturan
yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan
bahwa peraturan yang lama dicabut.
f)
Peraturan
yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adapun
azas-azas dalam pembentukan
peraturan perundangan sesuai Undang-undang
Nomor 12 tahun 2011 adalah sebagai berikut
:
a. Kejelasan
tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
b. Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat , adalah setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwewenang
c. Kesesuaian
antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
d. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis
e. Kedayagunaan
dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. Kejelasan
rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan,
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
pembentukan.
Terkait
materi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut Undang-undang
Nomor 12 tahun 2011 juga harus
mencerminkan asas :
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan
adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
d. Kekeluargaan
adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan
kepastian hukum adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum.
j. Keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara
B. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
Dalam kajia hukum, tata
urutan peraturan perundang-undangan disusun berdasarkan pandangan bahwa sistem
hukum merupakan sistem hierarki dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum
yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi. Hal
ini sesuai Teori Stufenbau (Stufen Theory) atau yang dipopulerkan oleh ahli
ilmu hukum yang bernama Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang
paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah
hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum
yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar
(grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar
abstrak adalah Pancasila.
Bagaimana susunan tata
urutan perundang-undangan di Indonesia? Berdasarkan Tap
MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum
Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. Tata
urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah (PP);
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari :
Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Catatan:
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
Berdasarkan
Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu);
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan
dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan., Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu);
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Catatan:
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu);
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lalu,
aturan mana terkait Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang
saat ini berlaku? Tentunya aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan
ini sesuai asas dan prinsip hukum bahwa peraturan atau Undang-Undang terbaru yang
mengatur persoalan yang sama menggantikan peraturan atau Undang-Undang yang ada
sebelumnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 102 dimana berbunyi : “Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Sehingga
dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan Undang-undang
yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dan peraturan yang ada
sebelumnya.
Penjelasan
lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom,
Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu
E.C.S. Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan
rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam Budiardjo,
menyatakan bahwa UndangUndang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai
organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD dan memuat
larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Dalam
tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut Miriam Budiardjo
( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa
dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini dikarenakan
a)
UUD
dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa
b)
UUD
dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c)
UUD
adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar
organisasi kenegaraan suatu bangsa
2.
Ketetapan MPR
Ketetapan
MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas,
kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945.
Adapun
yang dimaksud Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum
menurut penjelasan UU No 12 tahun 2011 adalah adalah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus
2003.
3. Undang-Undang
Undang-undang
merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Yang
berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu
masalah diatur dengan UU antara lain :
a)
UU
dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b)
UU
dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c)
UU
dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d)
UU
dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada,
e)
UU
dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f)
UU
dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
Adapun
materi muatan yang
harus diatur dengan
Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih
lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu)
Peraturan
Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPPU) dibentuk oleh presiden tanpa
terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini dikarenakan PERPU dibuat
dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera
ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya PERPU tersebut harus diajukan ke
DPR untuk mendapatkan persetujuan. ladi bukan berarti presiden dapat seenaknya
mengeluarkan PERPPU, karena pada akhirnya harus diajukan kepada DPR pada
persidangan berikutnya. Sebagai lembaga legislatif DPR dapat menerima atau
menolak PERPPU yang diajukan Presiden tersebut, konsekwensinya kalau PERPPU
tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus dinyakan tidak berlaku
lagi
Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang, yakni:
a. pengaturan lebih
lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
5. Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk
melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi
peraturan pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan dari suatu
undang-undang. Itulah sebabnya materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Adapun
kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :
a)
PP
tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b)
PP
tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. jika UU induknya tidak mencantumkan
sanksi pidana,
c)
PP
tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d)
PP
dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut secara tegas, asal PP tersebut untuk
melaksanakan UU,
6. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden
merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden
berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya Presiden dapat membuat dua macam keputusan yaitu yang
bersifat pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis peraturan
perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan atau yang
dikenal dengan Peraturan Presiden .
Materi muatan
Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
7. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan
Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah Propinsi dan daerah
Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah dibuat untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang lebuh tinggi. Selain itu
Peraturan daerah inijuga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.
Dengan demikian kalau Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan
daerah, dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum
tentu diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain.
Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
C. Proses Pembuatan
Peraturan Perundang-undangan Indonesia
1.
Proses pembentukan Undang-Undang
Undang-undang
adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya Presiden harus mendapat
persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 5 Ayat 1
"Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR", Pasal20
Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2
"Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama" .
Dalam
pembentukan suatu undang-undang, sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 12
tahun 2011, maka tahap-tahapnya meliputi:
a.
Tahap penyusunan Rancangan
Undang-Undang meliputi:
1)
Rancangan Undang-Undang
dapat berasal dari
DPR atau Presiden.
2)
Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari
DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat
berasal dari DPD.
3)
Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Terdapat 3 jenis
RUU yang tidak harus disertai Naskah Akademik namun haruss disertai dengan
keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi
muatan yang diatur yakni: a) RUU
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b)
penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c) pencabutan
Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4)
Rancangan Undang-Undang, baik
yang berasal dari DPR
maupun Presiden serta
Rancangan Undang-Undang yang
diajukan DPD kepada
DPR disusun berdasarkan Prolegnas
(Program Legislasi Nasional). Adapun Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh
DPD berkaitan dengan: a) otonomi
daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c)
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d) pengelolaan
sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e)
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5)
Rancangan Undang-Undang
dari DPR diajukan
oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau
alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Kemudian dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
6)
Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh Presiden
disiapkan oleh menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
jawabnya. Dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang,
menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah
nonkementerian terkait membentuk
panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. Kemudian
dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari
Presiden dikoordinasikan oleh
menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
7)
Rancangan Undang-Undang
dari DPD disampaikan secara tertulis
oleh pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR dan harus
disertai Naskah Akademik. Usul Rancangan
Undang-Undang dari DPD
disampaikan oleh pimpinan DPR
kepada alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang
legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang. Untuk selanjutnya Alat
kelengkapan DPR dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang dapat mengundang pimpinan
alat kelengkapan DPD yang
mempunyai tugas di
bidang perancangan Undang-Undang untuk
membahas usul Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD.
8)
Rancangan Undang-Undang
dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada
Presiden. Presiden menugasi
menteri yang mewakili
untuk membahas Rancangan Undang-Undang
bersama DPR dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR
diterima. Kemudian Menteri yang mendapat
tugas dari Presiden mengoordinasikan
persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
9)
Rancangan Undang-Undang
dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
pimpinan DPR. Surat Presiden
tersebut memuat penunjukan menteri
yang ditugasi mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. DPR
mulai membahas Rancangan
Undang-Undang yang diajukan presiden dalam jangka waktu
paling lama 60
(enam puluh) hari
terhitung sejak surat Presiden diterima.
Untuk keperluan pembahasan
Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri
atau pimpinan lembagapemrakarsa memperbanyak
naskah
RancanganUndang-Undang
tersebut dalam jumlah
yang diperlukan.
10)Apabila
dalam satu masa
sidang DPR dan
Presiden menyampaikan
Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang
sama, yang dibahas
adalah Rancangan Undang-Undang yang
disampaikan oleh DPR
dan Rancangan Undang-Undang yang
disampaikan Presiden digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
b.
Tahap penyusunan Pembahasan Rancangan Undang-Undang meliputi:
1)
Pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi.
2)
Khusus
Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a) otonomi daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; d) pengelolaan sumber
daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya; dan e)
perimbangan keuangan pusat dan daerah,
pada pembicaraan tingkat I dilakukan dengan mengikutsertakan DPD yang
diwakili oleh alat kelengkapan
yang membidangi materi muatan
Rancangan Undang-Undang yang
dibahas.
3)
DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR
atas Rancangan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
4)
Pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan
tingkat I dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi,
rapat Badan Legislasi,
rapat Badan Anggaran, atau rapat
Panitia Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
5)
Pembicaraan tingkat
I dilakukan dengan
kegiatansebagai berikut: a)
pengantar musyawarah; b)
pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c) penyampaian pendapat mini
6)
Dalam
pengantar musyawarah a) DPR memberikan
penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan
jika Rancangan Undang-Undang
berasal dari DPR; b) DPR memberikan penjelasan
serta Presiden dan DPD
menyampaikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD berasal
dari DPD; c) Presiden memberikan
penjelasan dan fraksi memberikan pandangan
jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau d)
Presiden memberikan penjelasan
serta fraksi dan DPD
menyampaikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD berasal
dari Presiden.
7)
Daftar inventarisasi
masalah diajukan oleh: a)
Presiden jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari DPR; atau b)
DPR jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari Presiden
dengan mempertimbangkan usul
dari DPD sepanjang terkait
dengan kewenangan DPD
8)
Penyampaian pendapat
mini disampaikan pada
akhir pembicaraan tingkat I oleh: a)
fraksi; b) DPD, jika
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan
DPD; dan c. Presiden.
9)
Pembicaraan tingkat
II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
dengan kegiatan: a) penyampaian laporan
yang berisi proses, pendapat mini
fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b) pernyataan
persetujuan atau penolakan
dari tiap-tiap fraksi
dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c)
penyampaian pendapat akhir
Presiden yang dilakukan oleh
menteri yang ditugasi.
10)
Dalam hal
persetujuan tidak dapat
dicapai secara musyawarah untuk
mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
11)
Rancangan Undang-Undang
tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden,
Rancangan Undang-Undang tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
12)
Rancangan Undang-Undang
dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan
Presiden. Rancangan Undang-Undang
yang sedang dibahas hanya
dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama
DPR dan Presiden.
c.
Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Tahap Pengesahan
Rancangan Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1)
Rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden
disampaikan oleh Pimpinan DPR
kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
2)
Penyampaian Rancangan
Undang-Undang dilakukan dalam jangka
waktu paling lama
7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3)
Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda
tangan dalam jangka
waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari
terhitung sejak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden.
4)
Dalam hal
Rancangan Undang-Undang tidak
ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama,
Rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan.
5)
Dalam hal
sahnya Rancangan Undang-Undang kalimat pengesahannya berbunyi:
Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal
20 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6)
Kalimat pengesahan
tersebut harus dibubuhkan
pada halaman terakhir Undang-Undang
sebelum pengundangan naskah Undang-Undang
ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
2. Proses
Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan
Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden yang dibuat
dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera
ditindaklanjuti.
Adapun
Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sesuai UU nomor
11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)
Peraturan
Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden yang dibuat
dalamkeadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera
ditindaklanjuti.
2)
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
harus diajukan ke
DPR dalam persidangan
yang berikut.
3)
Pengajuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dilakukan dalam bentuk
pengajuan Rancangan
Undang-Undang tentang penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
4)
DPR hanya
memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5)
Dalam hal Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang mendapat
persetujuan DPR dalam
rapat paripurna, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut
ditetapkan menjadi Undang-Undang.
6)
Dalam hal
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat
paripurna, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
tersebut harus dicabut
dan harus dinyatakan tidak
berlaku.
7)
Dalam hal
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang harus dicabut
dan harus dinyatakan
tidak berlaku, DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
8)
Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang mengatur
segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
9)
Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang dalam rapat paripurna.
10)Pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dilaksanakan melalui mekanisme
yang sama dengan pembahasan
Rancangan Undang-Undang.
11)Pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dilaksanakan dengan tata cara: a) Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b) Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan diajukan pada saat Rapat Paripurna
DPR tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c)
Pengambilan keputusan persetujuan
terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam
Rapat Paripurna DPR
yang sama dengan rapat
paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut.
3. Proses
Penyusunan Peraturan Pemerintah
Berikut
ini Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah
sebagai berikut:
1)
Dalam penyusunan
Rancangan Peraturan
Pemerintah, pemrakarsa membentuk
panitia antarkementerian
dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian.
2)
Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Pemerintah
dikoordinasikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
4. Proses
Penyusunan Peraturan
Presiden
Berikut
ini Proses Penyusunan Peraturan Presiden
sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)
Dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk
panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian,
2)
Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Presiden
dikoordinasikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
5. Proses
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
a.
Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
Berikut
ini Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU nomor 11
Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat
berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.
2)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi disertai
dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau Naskah Akademik.
3)
Dalam hal
Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi mengenai a) Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi; b) Pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c) perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang
hanya terbatas mengubah beberapa materi, tidak disertai naskah akademik namun
harus disertai keterangan yang memuat
pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
4)
Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Naskah Akademik.
5)
Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi
yang berasal dari DPRD
Provinsi dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi.
6)
Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi
yang berasal dari Gubernur
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan
instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
7)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat
diajukan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, atau
alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi.
8)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang
telah disiapkan oleh DPRD
Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada
Gubernur.
9)
Rancangan Peraturan
Daerah yang telah
disiapkan oleh Gubernur disampaikan
dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD
Provinsi.
10)Apabila dalam
satu masa sidang
DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah
Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang disampaikan oleh DPRD
Provinsi dan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang
disampaikan oleh Gubernur
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
b.
Proses Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
1)
Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur.
2)
Pembahasan bersama
dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
3)
Tingkat-tingkat pembicaraan
dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi
dan rapat paripurna.
4)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat
ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
5)
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang
sedang dibahas hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi
dan Gubernur.
c.
Proses Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
1.
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang
telah disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan
Gubernur disampaikan oleh pimpinan
DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah Provinsi.
2.
Penyampaian Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3.
Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi ditetapkan
oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda
tangan dalam jangka waktu
paling lama 30
(tiga puluh) hari
sejak Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tersebut disetujui
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
4.
Dalam hal
Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tidak ditandatangani oleh Gubernur
dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh)
hari sejak Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut
disetujui bersama, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tersebut
sah menjadi Peraturan Daerah
Provinsi dan wajib diundangkan.
5.
Dalam hal
sahnya Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, kalimat pengesahannya
berbunyi: Peraturan Daerah
ini dinyatakan sah.
6.
Kalimat pengesahan
tersebut harus dibubuhkan
pada halaman terakhir Peraturan
Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah
Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah
6.
Proses Penyusunan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
Pada
prinsipnya proses penyusunan rancangan, pembahasan dan penetapan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 sama seperti penyusunan,
pembahasan dan peetapan rancangan Peraturan
Daerah Provinsi.
Tags:
materiPPKn
Mengapa dalam piramida perundang-undangan, perpu diletakan di bawah undang-undang tidak satu ruang sama undang-undang?
karna y gitu
z