Pada materi dinamika persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI, kita selain akan mencoba menggali dinamika persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), juga mencoba menganalisis bagaimana upaya Merancang dan mengkampanyekan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Sejak
awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara menghendaki persatuan di negara
ini diwujudkan dengan menghargai terdapatnya perbedaan di dalamnya. Artinya bahwa
upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia dilakukan dengan tetap memberi
kesempatan kepada unsur - unsur perbedaan yang ada untuk dapat tumbuh dan be
rkembang secara bersama - sama. Proses pengesahan Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang bahannya diambil dari Naskah Piagam Jakarta, dan di
dalamnya terdapat rumusan dasar dasar negara Pancasila, menunjukkan pada kita betapa
tokoh- tokoh pendiri negara (the founding fathers) pada waktu itu menghargai
perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Para pendiri
negara rela mengesampingkan persoalan perbedaan- perbedaan yang ada demi membangun
sebuah negara yang dapat melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Sejalan
dengan itu dipakailah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya walaupun
berbeda - beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama maknanya dengan
istilah “ unity in diversity ”, yang artinya bersatu dalam keanekaragaman,
sebuah ungkapan yang menggambarkan cara menyatukan secara demokratis suatu masyarakat
yang di dalamnya diwarnai oleh adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika tersebut segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai
keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan
budaya yang dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Konsep Negara
Kesatuan (Unitarisme)
Istilah
negara kesatuan antara lain dinyatakan C.F Strong dalam bukunya A History of
Modern Political Constitution (1963:84), yang menyatakan negara kesatuan adalah
bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan
legislatif nasional. Kekuasa-an negara dipegang oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tetap berada di
tangan pemerintah pusat.
Pendapat
C.F Strong tersebut dapat dimaknai bahwa negara kesatuan adalah negara bersusun
tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan
pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke
dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan
daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada
satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu
parlemen. Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang
memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan.
Negara
kesatuan mempunyai dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Dalam
negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal diatur dan diurus oleh pemerintah
pusat, sedangkan daerah hanya menjalankan perintah-perintah dan
peraturan-peraturan dari pemerintah pusat. Daerah tidak berwewenang membuat
peraturan-peraturan sendiri atau mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi,
dalam negara kesatuan bersistem desentralisasi, daerah diberi kekuasaan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi, swatantra). Untuk menampung aspirasi
rakyat di daerah, terdapat parlemen daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat
tetap memegang kekuasaan tertinggi.
Pada
saat ini, Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut sistem
desentralisasi melalui mekanisme otonomi daerah. Dengan sistem ini, pemerintah
pusat memberikan sebagian kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom
(provinsi dan kabupaten kota). Akan tetapi, ada kewenangan yang tidak diberikan
kepada daerah otonom, yaitu kewenangan dalam bidangpolitik luar negeri, agama,
yustisi, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
Konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Sebagai
sebuah negara kesatuan (unitary state), sudah selayaknya dipahami benar makna
“kesatuan” tersebut. Dengan memahami secara benar makna kesatuan, diharapkan seluruh
komponen bangsa Indonesia memiliki pandangan, tekat, dan mimpi yang sama untuk terus
mempertahankan dan memperkuat kesatuan bangsa dan negara.
Filosofi
dasar persatuan dan kesatuan bangsa dapat ditemukan pertama kali dalam kitab Sutasoma
karya Mpu Tantular. Dalam kitab itu ada tulisan berbunyi “BhinnekaTunggal Ika tan
hana dharma mangrwa”, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu, tak ada
kebenaran yang mendua”. Frasa inilah yang kemudian diadopsi sebagai semboyan
yang tertera dalam lambing negara Garuda Pancasila.
Semangat
kesatuan juga tercermin dari Sumpah Palapa Mahapatih Gajahmada. Sumpah ini berbunyi:
Sira Gajah Mahapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun
huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahan
dari sumpah tersebut kurang lebih adalah: Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi
tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru
akan) melepaskan puasa".
Informasi
tentang Kitab Sutasoma dan Sumpah Palapa ini bukanlah untuk bernostalgia ke masa
silam bahwa kita pernah mencapai kejayaan. Informasi ini penting untuk menunjukkan
bahwa gagasan, hasrat, dan semangat persatuan sesungguhnya telah tumbuh dan
berkembang dalam akar sejarah bangsa Indonesia. Namun dalam alam modern-pun, semangat
bersatu yang ditunjukkan oleh para pendahulu bangsa terasa sangat kuat.
Jauh
sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya, misalnya, para pemuda pada tahun
1928 telah memiliki pandangan sangat visioner dengan mencita-citakan dan mendeklarasikan
diri sebagai bangsa yang betbangsa dan bertanah air Indoensia, serta berbahasa persatuan
bahasa Indonesia. Pada saat itu, jelas belum ada bahasa persatuan. Jika pemilihan
bahasa nasional didasarkan pada jumlah penduduk terbanyak yang menggunakan bahasa
daerah tertentu, maka bahasa Jawa-lah yang akan terpilih. Namun kenyataannya, yang
terpilih menjadi bahasa persatuan adalah bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan tidak
adanya sentimen kesukuan atau egoisme kedaerahan. Mereka telah berpikir dalam kerangka
kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
Dengan demikian, peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 adalah inisiatif
original dan sangat jenius yang ditunjukkan oleh kalangan pemuda pada masa itu.
Peristiwa Inilah yang kita kenal sebagai makna kesatuan sebagai kesatuan psikologis
atau kejiwaan bangsa Indonesia.
Indonesia
merupakan negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan Republik. Secara konseptual,
negara kesatuan merupakan suatu bentuk negara di mana kekuasaan pemerintahan berada
dan dipegang pemerintah pusat. Suatu negara disebut negara kesatuan apabila pemerintah
pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat, kekuasaan pusat lebih
menonjol dan tidak ada saingan bagi badan legislatif pusat dalam membuat undang-undang,
kekuasaan pemerintah daerah hanya bersifat derivative (Kusnardi & Saragih,
2000 dalam Wantanas, 2018).
Pada
intinya, dalam negara kesatuan tidak dikenal “negara dalam negara”, di mana kedaulatan
untuk menjalankan pemerintahan berada pada pemerintahan pusat. Pemberian
kekuasaan dan/atau kewenangan bagi pemerintah daerah, hanya merupakan “mandat” yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, dalam menjalankan
pemerintahannya, pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Konsep
negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia dideklarasikan oleh para pendiri bangsa
dengan mengklaim seluruh wilayah kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Konsepsi
negara kesatuan dapat kita lihat dari petikan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945 yang mengemukakan pemikiran mengenai Indonesia sebagai nation state atau negara
kesatuan adalah sebuah takdir dari Sang Khalik, sebagai berikut: “Allah S.W.T membuat
peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan
di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun jikalau ia melihat peta
dunia ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada
peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan
yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua
Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau
Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain
pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan”.
Pendiri
bangsa Indonesia menghendaki NKRI itu mencakup semua wilayah/pulau yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, dan itu semua
berdiri di bawah satu pemerintahan yang sama, yakni pemerintah NKRI. Bentuk negara
kesatuan berimplikasi pada adanya satu kesatuan wilayah negara, satu kesatuan
politik dan pemerintahan, satu kesatuan kepemilikan sumber daya alam yang pada gilirannya
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, satu
kesatuan ideologi (Pancasila), satu kesatuan identitas nasional, satu kesatuan sistem
perekonomian, satu kesatuan sistem pertahanan dan keamanan nasional, dan lain sebagainya.
Wilayah
negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan, digariskan dalam Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957 yang pada intinya menyatakan bahwa: “Segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk
dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah
bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada
di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang
diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara
Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang”.
Sebelum
dikeluarkannya Deklarasi Djuanda, batas laut teritorial Indonesia yang diakui oleh
masyarakat internasional hanya sepanjang 3 mil saja yang dihitung dari garis pantai
terluar dan terendah (ketika surut). Deklarasi Djuanda ini telah menguatkan pandangan
Bung Karno bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah nusantara. Laut/perairan
Indonesia tidak dijadikan pemisah antar wilayah nusantara, melainkan dipandang sebagai
pemersatu bangsa. Prinsip ini kemudian ditegaskan dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Inilah yang
kita kenal sebagai makna kesatuan sebagai kesatuan geografis, teritorial atau kewilayahan.
Perwujudan
konsepsi negara kesatuan yang dianut Indonesia, semakin kokoh kedudukannya, terutama
ketika terjadi amandemen terhadap UUD1945 yang secara berangsur terjadi pada tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002, para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) tetap mempertahankan bagian dan isi “Pembukaan UUD NRI Tahun
1945” serta mempertahankan “Negara Kesatuan” sebagai bentuk negara (Pasal 1
Ayat 1 UUD NRI 1945).
Bagian
pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat bentuk negara kesatuan, tersirat dalam
alinea keempat, yakni “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Pernyataan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”
mengandung arti bahwa bangsa Indonesia hidup, tumbuh dan berkembang dalam suatu
wilayah kesatuan yang saling terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Kesepakatan
untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan kemudian dipertegas pada
Pasal 37 Ayat 5 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Khusus mengenai bentuk NKRI tidak
dapat dilakukan perubahan”. Amandemen UUD NRI Tahun 1945 oleh karena itu telah menghilangkan
adanya keraguan tentang keberlanjutan bangsa dan negara Indonesia yang disinyalir
dapat pecah karena perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya.
A. Dinamika persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga
dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Gambar
singkat Dinamika persatuan dan kesatuan bangsa
sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia), tidak terlepas dari rangkaian peristiwa sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, yakni; lahirnya organisasi Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Kemerdekaan Indonesia,
disahkannya UUD NRI Tahun 1945, berlakunya Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat, mosi integral, berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, serta
keluarnya Dekrit Presiden.
Kesatu, tanggal 20 Mei 1908 merupakan asal-mula pergerakan
nasional yang ditandai dengan terbentuknya satu organisasi modern, Budi Utomo. Organisasi
ini bertujuan memberikan pencerahan akan pentingnya perjuangan guna melepaskan diri
dari belenggu penjajahan. Namun demikian, pergerakan yang dilakukan Budi Utomo belum
menunjukkan adanya kesadaran untuk berjuang secara kolektif dengan kelompok-kelompok
lainnya. Organisasi ini hanya fokus pada aspek sosial, ekonomi dan kebudayaan, tidak
menyentuh aspek politik. Selain itu, organisasi ini pada awalnya hanya ditujukan
bagi golongan berpendidikan yang ada di Jawa saja. Gerakan yang ditampilkan hanya
terbatas pada etnonasionalisme, belum mengarah pada nasionalisme secara
menyeluruh.
Kedua, tanggal 28 Oktober 1928 terjadi peristiwa Sumpah
Pemuda yang secara lebih tegas menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Pada waktu itu, berbagai organisasi kepemudaan yang tersebar di nusantara,
seperti; Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamietan Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain sebagainya
menyadari pentingnya persatuan nasional guna mencapai kemerdekaan Indonesia sebagaimana
menjadi cita-cita bersama. Para pemuda pada saat itu menyepakati tiga poin,
antara lain: (1) berbangsa satu, bangsa Indonesia, (2) bertumpah darah satu, tanah
air Indonesia, dan (3) berbahasa satu, bahasa Indonesia. Sekalipun kenyataannya,
secara de facto dan de jure belum ada Negara Indonesia saat itu.
Ketiga, tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak dari
perjuangan Bangsa Indonesia, di mana bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Sehari setelahnya (18 Agustus 1945), PPKI menetapkan Pancasila dan UUD
NRI Tahun 1945. Saat inilah ditetapkan secara yuridis-formal bahwa “Negara Indonesia
adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik”.
Keempat, tanggal 6 Desember 1949 terjadi perubahan susunan
negara Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat (UUD RIS). Diberlakukannya UUD RIS telah merubah bentuk negara Indonesia
yang sebelumnya berbentuk negara kesatuan berubah menjadi negara federal. Menurut
Ismail Sunny (1977) sejak saat itu, Negara Indonesia resmi berubah dari negara
kesatuan menjadi negara serikat dengan Konstitusi RIS (KRIS) 1949 sebagai
Undang-Undang Dasar. Namun dalam perjalanannya, sistem federal ini dirasa sangat
merugikan bagi bangsa Indonesia, karena dianggap oleh sebagian besar rakyat merupakan
alat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul
gerakan-gerakan dari berbagai kalangan masyarakat yang menentang negara federal
itu dan lebih menghendaki negara kesatuan. Dijelaskan Kahin, 1995 (dalam Wantanas,
2018) bahwa sistem federal dipandang sebagian masyarakat sebagai alat pengawasan
dan peninggalan Belanda yang dapat menghalangi tercapainya kemerdekaan Indonesia
yang lepas sama sekali dari Belanda.
Kelima, tanggal 3 April 1950 terjadi Sidang Parlemen
RIS untuk menyikapi banyaknya gerakan yang menolak keberlangsungan sistem federal
dalam Republik Indonesia Serikat. Pada sidang tersebut, Muhammad Natsir sebagai
Ketua Fraksi dari Partai Masyumi menekankan pentingnya pemulihan NKRI melalui sebuah
mosi (dikenal dengan mosi integral Natsir) yang pada intinya menganjurkan kepada
Pemerintah agar mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian bagi persoalan-persoalan
yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik waktu itu dengan cara integral.
Natsir melakukan lobi-lobi politik dengan kepala-kepala negara bagian dan ketua
fraksi lainnya di parlemen untuk memusyawarahkan gagasan pemulihan NKRI
(Dzulfikriddin, 2010 dalam Wantanas, 2018).
Keenam, setelah “mosi integral” disampaikan, pada tanggal
19 Mei 1950 berlangsunglah konferensi antara RIS dengan RI yang menghasilkan persetujuan
untuk bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan membuat Undang-Undang Dasar
Sementara. Dalam UUDS 1950 yang ditandatangani Presiden Soekarno pada tanggal
15 Agustus 1950, pada Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa “Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara Hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi Republik Indonesia Serikat
dibubarkan dan NKRI diproklamasikan kembali.
Ketujuh, tanggal 5 Juli 1959 Ir. Soekarno selaku Presiden
Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit Presiden
yang salah satunya adalah menetapkan kembali berlakunya UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan
bahwa UUDS sudah tidak berlaku. Bentuk negara Indonesia kembali menjadi negara kesatuan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Keluarnya Dekrit ini
disebabkan karena; (1) tidak diperolehnya keputusan dari konstituante berkenaan
dengan anjuran presiden dan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam UUDS untuk
kembali pada UUD NRI Tahun 1945, (2) Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan
tugasnya karena sebagian besar anggotanya menolak menghadiri sidang, dan (3) kemelut
yang terjadi dalam Konstituante menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang dapat membahayakan
persatuan, mengancam keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta dapat merintangi
pembangunan nasional.
Berdasarkan
rangkaian sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, maka tegaslah bahwa negara kesatuan
merupakan bentuk negara paling baik yang cocok diterapkan untuk Indonesia.
B. Merancang dan mengkampanyekan persatuan dan kesatuan bangsa
sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
Persatuan
dan kesatuan bangsa hendaknya tidak sebatas dipahami konsep dan teorinya namun
yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana setiap warga negara mampu mengamalkan
nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa tersebut sesuai dengan kemampuan dan perannya
masing-masing. Setiap orang memiliki peran yang sangat vital dalam rangka mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, setiap orang perlu merancang dan
mengkampanyekan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan
mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), diantaranya melalui
perilaku keseharian yang:
1. Senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan;
2. Memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa dengan selalu
berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh lapisan masyarakat, tanpa
membeda-bedakan ras, suku, budaya, adat istiadat, bahasa, agama dan status
sosial;
3. Berusaha meningkatkan semangat kekeluargaan,
gotong-royong dan musyawarah yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup bangsa
Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan tugas dan fungsi
jabatanya masing-masing.
4. Melaksanan dan berkontribusi dalam pembangunan yang
merata serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memberikan
perlindungan, jaminan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam setiap kegiatan
pelayanan yang diberikan sesua dengan kewenangan jabatan yang dimiliki.
5. Memberikan kontribusi dalam rangka pemperkuat sistem
pertahanan dan keamanan sehingga masyarakat merasa terlindungi dengan mengedepankan
semangat Bhinneka Tunggal Ika dan semangat kekeluargaan.
6. Menghindari penonjolan perbedaan (SARA).
Karena
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama serta adat-istiadat
kebiasaan yang berbeda-beda, maka setiap orang tidak boleh melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan perpecahan, antara lain:
a. Egoisme
b. Ekstrimisme
c. Feodalisme
d. Sukuisme
e. Profinsialisme
f. Tidak taat kebijakan, peraturan dan perundang undangan
g. Acuh tak acuh tidak peduli terhadap lingkungan
h. Fanatisme yang berlebih-lebihan dan lain sebagainya
Pengamalan
nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa yang konsisten akan menimbulkan rasa nasionalisme
dan patriotisme yang tinggi bagi setiap warga negara pada bangsa dan negaranya.
Dan dapat juga terjadi sebaliknya, dengan rasa nasionalisme dan patriotism yang
tinggi dimiliki oleh setiap warga Negara akan memberikan motivasi untuk secara
konsisten mengamalkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Ada
tiga hal yang harus dilakukan oleh setiap warga negara untuk membina rasa persatuan
dan kesatuan antara lain:
1. Mengembangkan persamaan di antara suku-suku bangsa
penghuni nusantara;
2. Mengembangkan sikap toleransi; dan
3. Memiliki rasa senasib dan sepenanggungan di antara
sesama bangsa Indonesia
Sedangkan
empat hal yang harus dihindari oleh setiap warga negara dalam memupuk menumbuhkan
persatuan dan kesatuan adalah:
1. Sukuisme, menganggap suku bangsa sendiri paling baik;
2. Chauvinisme, mengganggap bangsa sendiriu paling
unggul;
3. Ektrimisme, sikap mempertahankan pendirian dengan
berbagai cara kalau perlu dengan kekerasan dan senjata; dan
4. Provinsialisme, sikap selalu berkutat dengan provinsi atau
daerah sendiri.
Sikap
patriotisme adalah sikap rela berkorban segala-galanya termasuk nyawa sekalipun
untuk mempertahankan dan kejayaan negara. Ciri-ciri warga negara yang memiliki
patriotisme yang tinggi adalah :
1. Cinta tanah air;
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
3. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas
kepentingan pribadi dan golongan;
4. Berjiwa pembaharu; dan
5. Tidak kenal menyerah dan putus asa.
Sikap
patriotisme dalam kehidupan sehari hari dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Dalam kehidupan keluarga : menyaksikan film perjuangan,
membaca buku bertema perjuangan, dan mengibarkan bendera merah putih pada
hari-hari tertentu.
2. Dalam kehidupan sekolah : melaksanakan upacara bendera,
mengkaitkan materi pelajaran dengan nilai-nilai perjuangan, belajar dengan
sungguh-sungguh untuk kemajuan.
3. Dalam kehidupan masyarakat : mengembangkan sikap
kesetiakawanan sosial di lingkungannya, Memelihara kerukunan diantara sesama
warga.
4. Dalam kehidupan berbangsa : meningkatkan persatuan dan
kesatuan, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, mendukung kebijakan pemerintah, mengembangkan
kegiatann usaha produktif, mencintai dan memakai produk dalam negeri, mematuhi
peraturan hukum, tidak main hakim sendiri, menghormati, dan menjunjung tinggi supremasi
hukum serta menjaga kelestarian lingkungan.
Demikian
materi singkat tentang dinamika
persatuan dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan upaya Merancang dan mengkampanyekan persatuan
dan kesatuan bangsa sebagai upaya menjaga dan mempertahankan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia). Semoga ada manfaatnya, terima kasih.
ok
Wow