Secara umum kondisi masyarakat
Banten sebelum masuknya Islam,
masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan
dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti
arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah
kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut
Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada
sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh
salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon
yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin
untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di
Banten, karna beliau adalah seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di
kerajaan Islam di Banten, beliau mendirikan Kseultanan Banten, bahkan beliau
mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking
atau Seda Kikin, gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu
Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah
seorang sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.
Prabu Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada
anaknya, yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada masa itu Arya
Surajaya menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif
Hidayatullah kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati di Cirebon, karna Pangeran Cakrabuana wafat,
Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Bupati di Cirebon sekaligus menjadi
Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya, Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama
Islam di Banten, bahkan beliau di kenal memiliki banyak Santri di wilayah
Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.
Meskipun beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah
di Cirebon untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau
mendapatkan tugas dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni
menyebarkan Agama Islam di Banten. Setiba di Banten, Syaikh Maulana Hasanuddin
melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, beliau berkeliling
dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang
atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun
dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh
Masyarakat, Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran
Sunda Wiwitan (agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun
tidak sedemikian dengan Syaikh Maulan Hasanuddin, beliau terus melanjutkan
Dakwahnya dengan Lancar.
Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin
untuk berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karna
jika berperang secara duel akan menimbulkan korban yg banyak, itulah alasan
Prabu Pucuk Umun mengapa berperang beradu ayam karna tidak ingin menimbulkan banyak
korban.
Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang,
karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua
Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana
Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk
meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain
membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun
membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun
Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya
yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi
utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai
leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syaikh Maulana Hasanuddin
tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih
di kepala. Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena.
Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago
milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua
tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak
dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu
telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu
dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang
pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah
murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena
ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam
jago.
Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling
memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing. Tiba-tiba ayam jago Pucuk
Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena
tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin.
Pertaruangan itu dimenangkan oleh jago Maulana Hasanuddin.
Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu.
Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin
untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai
tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti
penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya
kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat
Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung
Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk
menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal
bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.
Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan
punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana
Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana
Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan
tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten
Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor
(Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa
kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah
menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan
Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.
Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah
Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada
usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa
pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang
menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin
menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten
beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun wilayah
tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun mendirikan istana
yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama kakeknya
(Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya
berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam prasasti
tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687), nama
resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin
memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan
Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian
memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan
posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni
Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering
disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera,
diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta
(Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat,
kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara. Kini Banten telah diakui di
berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah Eropa maupun Asia, Banten juga sempat
disebut sebagai Amsterdam sebab Banten merupakan pusat perdangan terbesa.
Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten Lama adalah salah satu situs peninggalan bersejarah yang menempati
lahan seluas 1,3 hektar yang dikelilingi tembok setinggi kurang lebih 1 meter
yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), putra
pertama dari Sunan Gunung Jati.
Pada keempat arah mata angin terdapat masing-masing sebuah gapura. Menara
masjid menggunakan bahan batu bata yang menjulang setinggi 24 meter dengan
diameter 10 meter menjadi ciri khas situs bersejarah ini. Ciri khas lainnya
adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China hasil desain
seorang arsitek Cina bernama Tjek Ban Tjut.
Selain menara, terdapat sebuah konstruksi tembok persegi delapan yang
dikenal dengan nama istiwa, bencet atau mizwalah yang digunakan sebagai
pengukur waktu dengan memanfaatkan bayangan akibat sinar matahari. Dua buah
serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan
bangunan utama.
Bangunan masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang (soko guru), empat
tiang utama terletak pada bagian tengah ruangan. Pada bagian bawahnya terdapat empat buah umpak (tumpak) batu berbentuk
buah labu. Mihrab terdapat pada dinding sebelah barat berupa ceruk tempat
imam memimpin shalat. Lalu Apakah makna
dari tumpak tiang masjid Banten yang berbentuk labu? Labu tersebut
merupakan simbol dari pertanian. Sebab, Banten Lama terkenal makmur, gemah
rimpah loh jinawi. Bahkan, pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf, Banten
terkenal dengan persawahannya yang luas hingga mencapai batas sungai Citarum.
Keberadaan Danau Tasikardi di sekitar masjid (bagian belakang masjid lebih
kurang 100 meter dari masjid) merupakan bukti lain yang menguatkan pendapat
ini.
Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur yang mempunyai
bentuk atap limas. Pada dinding ini terdapat empat buah pintu masuk yang rendah.
Setiap orang yang masuk ke ruangan utama harus menundukkan kepala. Meski ia
berasal status sosial tertentu, ketika memasuki masjid semuanya sama.
Pengunjung masjid tidak hanya berasal dari jamaah yang hendak melakukan
shalat lima waktu, tetapi cukup banyak di antaranya yang berstatus peziarah.
Hal ini dapat dipahami mengingat di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman
sultan-sultan Banten serta keluarganya. Di antaranya makam Sultan Maulana
Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul
Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana
Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Akulturasi budaya yang terlihat dari bangunan Masjid Agung Banten. Bagaimana
bentuk akulturasi budaya yang terlihat dari bangunan Masjid Agung Banten? Pada
arsitektur Masjid Agung Banten terdapat akulturasi budaya Jawa, Cina, dan
Belanda. Berdasarkan sejarah Bangunan Masjid Agung Banten dibuat oleh tiga
arsitek yakni Raden Sepat, arsitek asal Indonesia yang juga merancang Masjid
Agung Demak; Cek Ban Su, arsitek asal Tiongkok yang bertugas membangun atap;
dan Hendick Lucaz Cardeel, arsitek asal Belanda yang membangun menara dan
Tamiyah, ruang bermusyawarah.
1. Budaya Jawa pada arsitektur Masjid Agung Banten
Pada Masjid Agung Banten terdapat sebuah pendopo di sebelah selatan masjid,
yang pada budaya jawa berfungsi untuk tempat berkumpul, musyawarah, dan segala
aktivitas yang lebih profan (tidak bersangkutan dengan agama), meskipun
memiliki fungsi yang lebih profane, pendopo ini dapat memberi manfaat bagi
masyarakat sekitarnya, sesuai nilai-nilai Islam. Pada pendopo ini terdapat
umpak batu andesit berbentuk labu ukuran besar yang terdapat pada tiap dasar
tiang masjid dan juga pendopo digambarkan sebagai simbol pertanian untuk mengingatkan
serta menunjukkan kemakmuran kesultanan Banten lama pada masanya. Umpak tersebut
semakin memperkuat nuansa budaya jawa. Pengaruh budaya jawa ini tentu dibawa oleh
arsitek bernama Raden Sepat.
2. Budaya Cina pada arsitektur Masjid Agung Banten
Pengaruh budaya Cina yang paling terasa pada Masjid Agung Banten ialah
bentuk atap dari bangunan utama masjid. Atap dari masjid ini memiliki lima
susun atap. Ini adalah karya arsitektur China yang bernama Tjek Ban Tjut. Makna
dari lima susun atap tersebut adalah rukun Islam, namun yang menarik pada atap
ini adalah dua tumpukan atap yang paling atas seakan terpisah dengan tiga
tumpuk lainnya, hal ini mengesankan dua tumpukan atap tersebut digambarkan
sebagai mahkota dari Masjid Agung Banten.
3. Budaya belanda pada arsitektur Masjid Agung Banten
Pada sisi timur masjid terdapat sebuah menara yang mirip mercusuar menjadi
ciri khas Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini
terbuat dari batu bata, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter.
Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan
melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara
ini, dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai,
karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Dahulu, selain
digunakan sebagai tempang mengumandangkan azan, menara ini juga digunakan
sebagai tempat menyimpan senjata. Penggunaan menara pada masjid pada kala itu
sebenarnya belum ada di pulau Jawa, ini merupakan pengaruh dari budaya Belanda
yang dibawa oleh Arsitek Hendrik Lucaz Cardeel.