Ketika pelanggan membeli suatu produk atau jasa dari
suatu perusahaan, maka salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangannya
adalah apakah barang tersebut berkualitas (bermutu)
atau tidak. Semua orang di dunia ini pada umumnya menghendaki barang yang berkualitas
(mutu). Persoalannya adalah seperti apa
sebenarnya produk atau barang yang berkualitas (bermutu).
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut sebaiknya kita harus
pahami terlebih dahulu pengertian kualitas
(mutu). Berikut ini beberapa pengertian kualitas
(mutu) menurut para ahli atau pakar, antara lain sebagai
berikut :
Buzzell dan Gale (1987) dalam Joseph M. Juran (2005:337) menyatakan
bahwa “…pengertian kualitas (mutu) adalah apa
yang pelanggan katakan tentang hal tersebut, dan kualitas (mutu)
dari produk maupun jasa adalah apa yang pelanggan persepsikan sebagai hal
tersebut”.
Dalam perspektif TQM (Total Quality Management), pengertaian kualitas (mutu) dipandang
secara lebih luas, dimana tidak hanya aspek hasil saja yang ditekankan,
melainkan juga meliputi proses, lingkungan, dan manusia.
Pengertian kualitas
(mutu) sama dengan yang
didefinisikan oleh pelanggan, kalau tidak, dapat menimbulkan pengambilan
keputusan yang salah. Persepsi kualitas (mutu)
yang terpenting adalah Kualitas (Mutu) yang sebagai mana dipersepsikan oleh
pelanggan. Kualitas (Mutu) pelayanan yang dipersepsikan oleh pelanggan memiliki
dua komponen dasar yaitu:
·
Kualitas (mutu) tekhnis atau
hasil. Apa yang pelanggan terima dalam interaksinya dengan perusahaan jelas
sangat penting untuk mereka dan pada penilaian Kualitas (mutu)
mereka. Secara internal hal ini sering dianggap sebagai Kualitas (mutu)
penyampaian produk.
·
Kualitas (mutu) fungsional
atau yang berkaitan dengan proses. Selain itu pelanggan juga dipengaruhi oleh
bagaimana dia mendapat pelayanan atau bagaimana dia mengalami proses produksi
dan konsumsi yang simultan, yang merupakan dimensi lain dari Kualitas (mutu),
yang sangat terkait dengan hubungan pembeli dan penjual, sehingga disebut kualitas
(mutu) fungsional.
Citra perusahaan atau instansi. Biasanya penyedia layanan
tidak dapat bersembunyi dibalik nama merek. Dalam berbagai kasus pelanggan akan
dapat melihat perusahaannya, sumber daya, dan bagaimana pengoperasiannya. Oleh
karena itu citra perusahaan atau pribadi merupakan hal terpenting dalam tiap
pelayanan. Hal tersebut dapat berdampak pada persepsi kualitas
(mutu) dengan berbagai
cara. Jika perusahaan memiliki citra yang baik dimata pelanggan, maka
kesalahan-kesalahan kecil dapat dimaafkan oleh pelanggan. Apabila kesalahan
tersebut terjadi berulang kali maka citra perusahaan dapat rusak. Namun,
apabila citra perusahaan sudah buruk, maka kesalahan sebesar apapun akan
memiliki dampak negatif yang lebih besar. Selama persepsi kualitas
(mutu) merupakan bahan pertimbangan, citra
dapat dipandang sebagai filter.
Pada dasarnya persepsi kualitas (mutu) tersebut
tidak ditentukan oleh tingkat komponen teknis maupun komponen fungsional, akan
tetapi oleh kesenjangan antara kualitas (mutu)
yang diharapkan dengan mualitas (mutu) yang
dialami.
Pengertian Kualitas (Mutu) Pendidikan |
Pengertian Kualitas (Mutu) Pendidikan
Dalam dunia
pendidikan, Pengertian Kualitas (Mutu) Pendidikan menurut Depdiknas
(2001: 2) dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran skolastik yang
dapat diukur secara kuantitatif, dan pengamatan secara kualitatif, khususnya
bidang-bidang pengetahuan sosial. Rumusan Pengertian
kualitas (mutu) pendidikan bersifat
dinamis dan dapat ditelah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang
konsep mutu dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada seperti
kebijakan pendidikan, proses belajar mangajar, kurikulum, sarana dan prasarana,
fasilitas pembelajaran dan tenaga kependidikan sesuai dengan kesepakatan
pihak-pihak yang berkepentingan.
Pandangan lain
menyebutkan bahwa kualitas
(mutu) memiliki dua konsep
yang berbeda antara konsep absolut dan relatif. Dalam konsep absolut suatu
barang disebut bermutu bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Sedangkan
dalam dunia pendidikan konsep Kualitas (Mutu) absolut ini bersifat elitis
karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan Kualitas
(Mutu) tinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang mampu
mencapainya.
Dalam konsep relatif,
kualitas (mutu) bukan merupakan atribut
dari produk atau jasa. Sesuatu dikatakan berKualitas (Mutu) jika barang atau
jasa memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Oleh karena itu kualitas (mutu) bukanlah merupakan
tujuan akhir, melainkan sebagai tolak ukur atas produk akhir dari standar yang
ditentukan. Definisi kualitas
(mutu) dalam konsep relatif
menurut Nurkolis (2006) memiliki dua konsep, yang (1) dilihat dari sudut
pandang produsen maka Kualitas (Mutu) adalah mengukur berdasarkan spesifikasi
yang ditetapkan, dan (2) dari sudut pandang pelanggan maka kualitas (mutu) memenuhi tuntutan
pelanggan.
Kualitas (mutu) juga memiliki banyak
dimensi, yaitu: (1) karakteristik kinerja profesional pokok dari produk inti,
(2) karakterisitk tambahan, (3) keandalan, yaitu kecil kemungkinan untuk rusak
atau gagal pakai, (4) kesesuaian dengan spesifik yang telah ditetapkan, (5)
daya tahan, yaitu berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan, (6)
keterlayanan meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, atau penanganan
keluhan yang memuaskan, (7) estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca
indra, dan (8) citra Kualitas (Mutu) produk yang menyangkut antara lain
tanggungjawab terhadap produk atau jasa yang diberikan (Nurkolis, 2006).
Dalam bidang
pendidikan, hanya konsep relatif yang sering ditemukan. Dalam konsep ini, pengertian kualitas (mutu) pendidikan
biasanya diukur dari sisi pelanggannya baik pelanggan internal maupun
eksternal. Pelanggan intenal, yaitu kepala sekolah, guru dan staf pendidikan lainnya.
Pelanggang eksternal ada tiga kelompok yaitu, (1) peserta didik (pelanggan
eksternal primer), (2) orang tua dan para pemimpin pemerintah (pelanggan
ekseternal sekunder), dan pasar kerja, pemerintah dan masyarakat luas (pelanggan
eksternal tersier). Sallis (2006).
Kualitas (Mutu) Pendidikan tidak hanya ditentukan oleh
sekolah sebagai lembaga pengajaran, tetap disesuaikan dengan apa yang menjadi
pandangan dan harapan masyarakat yang cendrung selalu berkembang seiring dengan
kemajuan zaman. Menurut Sagala (2010) bahwa sekolah yang berhasil ditentukan
oelh faktor-faktor antara lain: (1) kegiatan belajar-mengajar, (2) kompetensi
guru dan tenaga kependidikan dittingkatkan, (3) fasilitas dan perlengkapan
pembelajaran disiapkan, (4) kegiatan ekstrakulikulernya.
Indikator
keberhasilan dalam meningkatkan Kualitas (Mutu) Pendidikan akan tampak dalam berbagai aspek,
yaitu: (1) Efektifitas proses pembelajaran bukan sekedar transfer pengetahuan (transfer
Knowledge) atau peningat, melainkan lebih menekankan pada internalisasi
mengembangkan aspek kognitif, afektefi dan psikomotor dan kemandirian, (2)
kempimimpinan kepala sekolah akan mendorong terwujudnya visi, misi, tujuan
sasran melalui program yang dilaksanakan secara berencana, bertahap,
kreatifitas, inovasi, efektif, mempunyai kemampuan manajerial, (3) pengelolaan
tenaga kependidikan yang efektif, (4) sekolah memiliki budaya mutu, (5) sekolah
memiliki team work yang kompak, cerdas dan dinamis. Karena output pendidikan
merupakan hasil kolektif bukan hasil individu guna memperoleh mutu yang
kompetitif, (6) sekolah memiliki kemandirian, yaitu kemampuan untuk bekerja
secara maksimal dengan tidak tergantung petunjuk dari atasan dan memiliki
sumber daya manusia yang potensial, (7) patitsipasi warga sekolah dan
masyarakat. Keterkaitan dan keterlibatan pada sekolah harus tinggi dilandasi
oleh rasa tanggunjawab melalui loyalitas dan dedikasi sebagai steakholders,
(8) sekolah memiliki transparansi, (9) sekolah memiliki kemauan perubahan (management
change). Perubahan adalah peningkatan bermakna positif untuk lebih baik
dalam peningkatan mutu pendidikan, (10) sekolah melakukan evaluasi perbaikan
yang berkelanjut dan merupakan proses penyempurnaan dalam meningkatkan mutu
keseluruhan, mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur dan sumber daya manusia,
(11) sekolah memiliki akuntabilitas sebagai tanggun jawab terhadap keberhasilan
program sekolah yang telah dilaksanakan, (12) output sekolah
penekanannya kepada lulusan yang mandiri dan memenuhi syarat pekerjaan (qualified)
(sagala, 2010:172).
Kualitas (Mutu) Pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan
yang dilandasi oleh suatu perubahan terencana. Peningkatan mutu pendidikan
diperoleh melalui dua strategi yaitu peningkatan mutu pendidikan yang
beriorientasi akademis untuk memberi dasar minimal dalam perjalanan yang harus
ditempuh mencapai mutu pendidikan yang dipersyaratkan oleh tuntutan zaan, dan
peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup yang
esensial yang dicakupi oleh pendidikan yang berlandaskan luas, nyata dan
bermakna. Dalam kaitan dengan strategi yang akan ditempuh, peningkatan mutu
pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan
kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Telaah terhadapa situasi aktual
merupakan titik berangkat dalam menempuh perjalanan ke situasi yang ideal yang
didahului oleh suatu batas ambang sebagai landasan minimal, dan mencakup mutu
pendidikan yang dipertanggunjawabkan serta yang ditandai oleh suatu tolak ukur
sebagai noram ideal.
Kualitas (Mutu) Pendidikan tidak hanya ditentukan oleh
sekolah sebagai lembaga pengajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang
menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang cendrung selalu berkembang
seiring kemajuan zaman. Bertitik tolak pada kecendrungan ini penilaian
masyarakat tentang mutu lulusan sekolah pun terus menurus bekembang. Karena itu
sekolah harus terus menurus meningkatkan mutu lulusannya dengan menyesuaikan
dengan perkembangan tuntutan masyarakat menuju pada mutu pendidikan yang
dilandasi tolak ukur norma ideal.
Fattah (2009)
mengemukakan upaya peningkatan Kualitas (Mutu) dan perluasan
pendidikan membutuhkan sekurang-kurangnya tiga faktor
utama yaitu, (1) kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti Kualitas (Mutu)
tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar, (2) mutu proses belajar mengajar
yang mendorong siswa belajar efektif, dan (3) mutu keluaran dalam bentuk
pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu
proses belajar mengajar dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan
biaya yang dibutuhkan dan tenaga profesional kependidikan dapat disediakan di
sekolah.
Upaya Peningkatan Kualitas (Mutu) Pelayanan Pendidikan
1. Upaya supervisi
Untuk merumuskan suatu strategi dalam meningkatkan kualitas
(mutu) pelayanan di bidang pendidikan, perlu
dikaji landasan teori yang tepat. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas (mutu)
pelayanan di bidang pendidikan adalah teori mengenai supervisi. Supervisi
memiliki tiga tujuan utama yaitu peningkatan kualitas (mutu),
pengembangan profesional, dan pemberian motivasi guru. Supervisi juga merupakan
upaya yang efektif dalam mengusahakan peningkatan kualitas
(mutu) sekolah melalui peningkatan kemampuan
guru dan stafnya untuk secara bersama-sama mengembangkan situasi belajar
mengajar yang kondusif. Situasi belajar mengajar yang kondusif tercipta karena
adanya peran komunikasi yang lebih efektif.
2. Metode SERVQUAL
Untuk menilai kualitas (mutu)
pelayanan pendidikan perlu landasan metode yang tepat. Salah satu metoda yang
digunakan dalam menilai Kualitas (Mutu) pelayanan adalah metoda SERVQUAL, yang
dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry. Metoda ini menilai kualitas
(mutu) pelayanan berdasarkan kesenjangan
kesenjangan yang terjadi pada pelayanan tersebut.
Metode SERVQUAL (service quality) hingga kini banyak
dijadikan acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa. Metode SERVQUAL ini
dikembangkan dengan maksud membantu para manajer atau pimpinan dalam menganalisis
sumber masalah Kualitas (Mutu) dan memahami cara-cara memperbaiki Kualitas
(Mutu) pelayanan jasa. Metoda ini menilai Kualitas (Mutu) pelayanan berdasarkan
kesenjangan kesenjangan yang terjadi pada pelayanan tersebut
Lebih lanjut, menurut Parasuraman dkk. terdapat lima
kesenjangan yang terjadi dalam service quality.
Kesenjangan yang pertama adalah kesenjangan antara
harapan konsumen dengan persepsi manajemen. Kesenjangan ini disebabkan karena
ketidakcukupan komunikasi antara petugas di level front line service dengan
manajemen.
Kesenjangan yang kedua adalah kesenjangan antara persepsi
manajemen dengan spesifikasi Kualitas (Mutu) pelayanan di mata konsumen.
Kesenjangan ini disebabkan karena tidak adanya penyampaian standarisasi yang
jelas dari pihak manajemen kepada pihak konsumen dan juga karena tidak ada
standarisasi tugas kepada pihak front line service.
Kesenjangan yang ketiga adalah kesenjangan antara
spesifikasi Kualitas (Mutu) pelayanan dengan kenyataan delivery service di
tingkat front line service. Faktor-faktor kunci yang menjadi penyebab utama
antara lain karena role ambiguity, yaitu kecenderungan yang menimpa front line
service terhadap kondisi bimbang dalam memberikan pelayanan karena tidak adanya
standarisasi tugas yang jelas dari pihak manajemen, kurangnya sistem kontrol
dari manajemen, serta kurangnya teamwork.
Kesenjangan yang keempat adalah kesenjangan antara
kenyataan delivery service quality dengan komunikasi eksternal kepada
pelanggan. Penyebab utama kesenjangan ini adalah ketidakpastian komunikasi
horizontal antar bagian dalam institusi.
Kesenjangan yang terakhir adalah kesenjangan antara
harapan konsumen dengan persepsi tentang pelayanan.
Penyebab utama kesenjangan pada service quality, dapat
diambil kesimpulan bahwa permasalahan utama yang menyebabkan kesenjangan service
quality adalah kurangnya komunikasi, baik secara vertikal dari level manajemen
ke level di bawahnya, maupun secara horizontal, dari bagian satu ke bagian lain
dalam institusi. Miscommunication ini dapat menyebabkan kurangnya pemahaman
karyawan atau subjek pelayanan akan tugas-tugasnya sehingga penyampaian
pelayanan kepada pihak konsumen tidak maksimal. Kurangnya komunikasi juga
menyebabkan kurangnya kontrol dari pihak manajemen terhadap bawahannya sehingga
karyawan tidak mengetahui bagian mana dalam pekerjaannya yang harus diperbaiki.
Metoda SERVQUAL mengukur besarnya kesenjangan-kesenjangan
tersebut pada lima dimensi Kualitas (Mutu) pelayanan, yaitu tangible (Penampilan),
reliability(Keandalan), responsiveness (Ketanggapan),
empathy (Empati), dan assurance (Jaminan)
(Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1985 dalam Mehdi
Khosrowpour, 2000:455). Diantara kelima dimensi tersebut hanya dimensi
tangible, atau dikenal dengan servicescape, memiliki bentuk fisik yang dapat
dilihat secara langsung. Sedangkan empat dimensi lainnya bersifat intangible
yang hanya dapat dirasakan saat menggunakan jasa. Sebagai satu-satunya dimensi
yang memiliki bentuk nyata dan dapat dievaluasi sebelum penggunaan layanan,
maka servicescape dapat membantu pengambilan keputusan pelanggan dalam
menggunakan suatu layanan.
Pada saat ini, kualitas (mutu) pelayanan merupakan isu
pokok pada dunia jasa. Begitu
pula dalam pendidikan kualitas
(mutu) pelayanan (service
quality) merupakan hal yang sangat penting, bahkan perlu mendapatkan perhatian
yang lebih dibandingkan dengan produk, karena pada pendidikan banyak faktor
intangible yang sulit untuk diidentifikasi. Kualitas (Mutu) pelayanan ini
menjadi penentu bagi keberhasilan suatu service provider untuk tetap bertahan
dalam dunia persaingan.
Salah satu upaya perubahan
dalam rangka peningkatan kualitas (mutu) di bidang pendidikan
adalah dengan menggunakan model pengelolaan pendidikan berbasis industri.
Pengelolaan model ini menjabarkan adanya upaya pihak pengelola institusi
pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan.
Dasar dari manajemen ini adalah konsep total quality management yang secara
filosofis menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang
berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang
dikembangkan adalah, institusi memposisikan dirinya sebagai institusi jasa,
yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang
diinginkan pelanggan. Kualitas (Mutu) pelayanan yang diberikan institusi sangat
mempengaruhi penilaian yang diberikan pelanggan.
Program yang berorientasi pada kualitas (mutu) sebenarnya berasal dari
dunas bisnis. Dalam dunia bisnis, baik
yang bersifat produksi maupuin jasa, kualitas
(mutu) merupakan program utama
sebab kelanggengan dan kemajuan usaha sangat ditentukan oleh kualitas (mutu) sesuai dengan
permintaan dan tuntutan pengguna.
Permintaan dan tuntutan pengguna terhadap produk dan jasa layanan terus
berubah dan berkembang. Sejalan dengan
hal itu, kualitas
(mutu) produk dan jasa layanan
yang diberikan harus selalu ditingkatkan.
Karena dewasa ini bukan hanya menjadi masalah dan kepedulian dalam
bidang bisnis, melainkan juga dalam bidang-bidang lainnya seperti pemerintahan,
layanan social, pendidikan bahkan bidang keamanan dan ketertiban.
Referensi
Depdiknas.
2004. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Dikmenum.
Fattah, N.
2009. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Khosrowpour, Mehdi, (2000). Challenges of Information
Technology Management in the Century 21st. London: Idea Group Publishing
Juram, M., Josep, (2005).
Critical Evaluations in Business And Management. New York: Routledge