Permenkeu atau PMK 196/PMK.03/2021 tentang Tax Amnesty Jilid 2 (II). Pemerintah telah menerbitkan regulasi tentang Tax Amnesty Jilid 2 (II) dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu/PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu/PMK)
Nomor 196/PMK.03/2021 yang disebut-sebut sebagai salah satu acuan, dasar hukum
atau regulasi Tax Amnesty Jilid 2 (II), diterbitkan untuk memberikan kesempatan
kepada Wajib Pajak mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi
secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan
harta.
Berikut ketentuan Pengungkapan
Harta Bersih Yang Tidak Atau Kurang Diungkapkan Dalam Surat Pernyataan. Dinyatakan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Permenkeu
- PMK Nomor 196/PMK.03/2021 Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan
Sukarela Wajib Pajak, bahwa wajib Pajak dapat mengungkapkan Harta bersih yang
belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sepanjang Direktur
Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengampunan pajak sebagaimana
diatur dalam UndangUndang Pengampunan Pajak. Adapun yang dimaksud harta bersih
merupakan nilai Harta dikurangi nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak. Harta merupakan Harta yang diperoleh Wajib
Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Harta
bersih dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Dinyatakan dalam Permenkeu atau PMK 196/PMK.03/2021 tentang Tax
Amnesty Jilid 2 (II) bahwa Pajak Penghasilan yang bersifat final berupa Harta
bersih yang dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
pengenaan pajak.Tarif ditetapkan sebesar:
a.
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
1.
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2.
Surat Berharga Negara;
b.
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
1.
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2.
Surat Berharga Negara;
c.
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dengan ketentuan:
1.
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.
diinvestasikan pada:
a)
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b)
Surat Berharga Negara;
d.
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
1.
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.
tidak diinvestasikan pada:
a)
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b)
Surat Berharga Negara; atau
e.
11% (sebelas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak yakni
sebesar jumlah Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan.Nilai Harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah
Harta bersih ditentukan berdasarkan:
a.
nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas;
b.
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah
dan/atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor, untuk kendaraan bermotor;
c.
nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
d.
nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran
(warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau
e.
nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk:
1.
Surat Berharga Negara; dan
2.
efek bersifat Utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai
kondisi dan keadaan Harta pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Dalam hal tidak terdapat
nilai yang dapat dijadikan pedoman, nilai Harta ditentukan berdasarkan nilai
dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik. Dalam hal nilai Harta menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Ketentuan penggunaan kurs
yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan
tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir berlaku juga untuk menghitung nilai
Utang dalam hal nilai Utang menggunakan satuan mata uang selain Rupiah. Kurs
yang digunakan untuk penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun
Pajak Terakhir berlaku ketentuan:
a.
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 31 Desember 2015 menggunakan kurs sesuai
Keputusan Menteri Nomor 61/KM.10/2015 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar
Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak Penghasilan yang Berlaku
untuk Tanggal 30 Desember 2015 sampai dengan 5 Januari 2016; atau
b.
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Desember
2015, menggunakan kurs sesuai dengan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk
keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal akhir tahun buku Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Wajib Pajak yang
mengungkapkan Harta bersih tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Berikut ini Ketentuan Pengungkapan
Harta Bersih Yang Belum Dilaporkan Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2020. Ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Permenkeu - PMK
Nomor 196/PMK.03/2021 Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela
Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan Harta bersih
yang: a) diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31
Desember 2020; b) masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2020; dan c) belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020, kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Harta bersih merupakan nilai
Harta dikurangi nilai Utang. Harta bersih dianggap sebagai tambahan penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2020. Wajib
Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan Harta bersih harus memenuhi
ketentuan:
a.
tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017,
Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020;
b.
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk Tahun Pajak 2016,
Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak
2020;
c.
tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
d.
tidak sedang dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
dan/atau
e.
tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Ketentuan Wajib Pajak yang
mengungkapkan Harta bersih meliputi kewajiban Pajak Penghasilan, pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang
pribadi yang bersangkutan dan tidak termasuk kewajiban Wajib Pajak orang
pribadi sebagai wakil atau kuasa.
Harta bersih dianggap
sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi pada Tahun Pajak 2020 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Pajak
Penghasilan yang bersifat final dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan
dasar pengenaan pajak. Tarif ditetapkan sebesar:
a.
12% (dua belas persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
1.
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2.
Surat Berharga Negara;
b.
14% (empat belas persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
1.
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2.
Surat Berharga Negara;
c.
12% (dua belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
1.
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.
diinvestasikan pada:
a)
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b)
Surat Berharga Negara;
d.
14% (empat belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
1.
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2.
tidak diinvestasikan pada:
a)
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b)
Surat Berharga Negara; atau
e.
18% (delapan belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak untuk
Harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi
Tahun Pajak 2020 dihitung sebesar:
a. nilai nominal, untuk
Harta berupa kas atau setara kas; atau
b. harga perolehan, untuk
Harta selain kas atau setara kas.
Dalam hal harga perolehan tidak
diketahui, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai wajar yang menggambarkan kondisi
dan keadaan pada tanggal 31 Desember 2020 dari aset yang sejenis atau setara
berdasarkan penilaian Wajib Pajak.
Dalam hal nilai Harta menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020.
Ketentuan penggunaan kurs
yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan
tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020 berlaku juga untuk menghitung nilai Utang
dalam hal nilai Utang menggunakan satuan mata uang selain Rupiah.
Kurs tersebut menggunakan
kurs pada tanggal 31 Desember 2020 sesuai Keputusan Menteri Nomor 56/KM.10/2020
tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak
Penghasilan yang Berlaku untuk Tanggal 30 Desember 2020 sampai dengan 5 Januari
2021.
Selain harus memenuhi
ketentuan di atas, Wajib Pajak orang pribadi yang mengungkapkan Harta bersih
juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
memiliki NPWP;
b.
membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final;
c.
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020; dan
d.
mencabut permohonan: 1) pengembalian kelebihan pembayaran pajak; 2) pengurangan
atau penghapusan sanksi administratif; 3) pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak yang tidak benar; 4) pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang
tidak benar; 5) keberatan; 6) pembetulan; 7) banding; 8) gugatan; dan/atau 9) peninjauan
kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum
diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Terhadap Wajib Pajak orang
pribadi yang mengungkapkan Harta bersih, tidak diterbitkan ketetapan pajak atas
kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak
2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2020, kecuali ditemukan data dan/atau
informasi lain mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH.
Bagaimana Tata Cara
Pengungkapan Harta Bersih ? Dinyatakan dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu/PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program
Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak atau Tax Amnesty Jilid 2 (II), bahwa Wajib
Pajak mengungkapkan Harta bersih dengan menyampaikan SPPH secara elektronik
melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.Penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal
30 Juni 2022. Penyampaian SPPH dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh
empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia
barat. SPPH yang disampaikan harus dilengkapi dengan:
a.
NTPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan sebagai bukti
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
b.
daftar rincian Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau daftar rincian
Harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang
pribadi Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
c.
daftar Utang;
d.
pernyataan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta bersih yang berada
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c
dan huruf d serta Pasal 6 ayat (3) huruf c dan huruf d;
e.
pernyataan menginvestasikan Harta bersih pada:
1.
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2.
Surat Berharga Negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan Harta
bersih dan
f.
pernyataan mencabut permohonan dan daftar rincian permohonan yang dicabut,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum
diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Pernyataan mencabut disamakan
kedudukannya dengan surat permohonan pencabutan: a) pengembalian kelebihan
pembayaran pajak; b) pengurangan atau penghapusan sanksi administratif; c) pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; d) pengurangan atau
pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar; e) keberatan; dan/atau f) pembetulan,
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan di bidang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Wajib Pajak dapat menyampaikan
SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya secara elektronik melalui laman Direktorat
Jenderal Pajak dalam hal terdapat:
a.
kesalahan penulisan atau kesalahan penghitungan Wajib Pajak dalam pengisian
SPPH;
b.
penambahan Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH;
c.
pengurangan Harta bersih yang telah diungkapkan dalam SPPH;
d.
perubahan penggunaan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final atas pengungkapan
Harta bersih; dan/atau
e.
keadaan lain yang mengakibatkan ketidakbenaran SPPH sebelumnya.
Penyampaian SPPH kedua,
ketiga, dan seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam
periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Penyampaian SPPH kedua,
ketiga, dan seterusnya) dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat)
jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat.
SPPH kedua, ketiga, dan
seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.
seluruh Harta bersih setelah perubahan yang terdiri atas Harta bersih yang
tidak dilakukan perubahan; Harta bersih yang diubah, selain yang dihapus; dan
Harta bersih yang baru diungkapkan, dari yang tercantum dalam SPPH sebelumnya;
dan
b.
perbaikan kesalahan penulisan, perbaikan kesalahan penghitungan, dan/atau
perubahan penggunaan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Dalam hal berdasarkan hasil
perhitungan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya terdapat:
a.
jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final yang kurang dibayar, Wajib Pajak
harus melunasi kekurangan pembayaran tersebut sebelum SPPH tersebut
disampaikan; atau
b.
jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final yang lebih dibayar, Wajib Pajak
dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan, atas kelebihan setoran pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Atas penyampaian SPPH,
Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan
secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH
disampaikan. Surat Keterangan yang diterbitkan untuk penyampaian SPPH kedua,
ketiga, dan seterusnya menggantikan Surat Keterangan yang diterbitkan
sebelumnya.
Wajib Pajak dapat mencabut
SPPH yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pencabutan SPPH dapat
dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Pencabutan
SPPH dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7
(tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat. Pencabutan SPPH dilakukan
Wajib Pajak dengan menyampaikan SPPH dengan mengisi kolom Harta, Utang, dan
Harta bersih dengan nilai 0 (nol). Atas penyampaian SPPH, Kepala KPP atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada
Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan. Dalam hal
terdapat kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai
akibat dicabutnya SPPH, Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau pemindahbukuan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal berdasarkan hasil
penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara Harta bersih yang
diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Kepala KPP atas nama Direktur
Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan Surat Keterangan. Pembetulan dilakukan
dalam hal terdapat kesalahan penulisan dan/atau kesalahan penghitungan dalam
Surat Keterangan. Pembatalan dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan
Harta bersih yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak sesuai
dengan ketentuan atau Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan.
Dalam hal berdasarkan hasil
penelitian terdapat kekurangan atau kelebihan pembayaran jumlah Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang tercantum dalam Surat Keterangan, Kepala
KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat klarifikasi
kepada Wajib Pajak. Dalam hal berdasarkan surat klarifikasi terdapat kekurangan
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final, Wajib Pajak: a) diberikan kesempatan
untuk melunasi Pajak Penghasilan yang kurang dibayar; dan/atau b) memberikan
tanggapan atas surat klarifikasi, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal penerbitan surat klarifikasi.
Dalam hal Wajib Pajak: a) tidak
melunasi Pajak Penghasilan yang kurang dibayar sesuai surat klarifikasi; b) menyatakan
kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
disampaikan dalam surat klarifikasi; c) tidak menanggapi surat klarifikasi;
atau d) memberikan klarifikasi tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, Kepala
KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pembetulan atau
pembatalan atas Surat Keterangan. Surat pembetulan atas Surat Keterangan
berdasarkan keadaan memuat penyesuaian nilai Harta dan/ atau Utang.
Dalam hal terdapat kelebihan
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai akibat diterbitkannya
surat pembetulan atau pembatalan atas Surat Keterangan, Wajib Pajak dapat
meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang atau melakukan pemindahbukuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Ketentuan mengenai format surat
klarifikasi tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Selengkapnya silahkan baca Peraturan
Menteri Keuangan (Permenkeu/PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak atau Tax Amnesty Jilid 2 (II), melaui salinan dokumen yang tersedia di
bawah ini
Demikian informasi tentang Permenkeu atau PMK 196/PMK.03/2021 tentang Tax
Amnesty Jilid 2 (II). Semoga ada manfaatnya. Dapat berita pendidikan
terbaru melalui laman ainamulyana.com.